Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kunjungi Pulau Angso Duo Untuk Lepaskan Niat Terpendam

Pandangan memukau terhampar luas, lamunan seakan terpecah oleh deburan ombak. Dalam hati ingin mengetahui apa yang ada di pulau sana, seakan sangat menarik untuk disinggahi jika dilihat dari bibir pantai Gandoriah. Memandang laut lepas dan beberapa pulau sambil menikmati makanan khas Pariaman di tepi pantai menambah gairah rasa ingin tau ada apa di pulau yang berjejer itu?
Pulau-angso-duo-pariaman
Pulau Angso Duo Pariaman / Medianers
Orang-orang di tepi pantai Gandoriah berkata," disana ada pulau angso duo, disana ada juga kuburan panjang dan surau tempat nelayan menunaikan ibadah sholat. Lagu Minang berjudul "Dayuang Palinggam" dipopulerkan oleh Elly Kasim, Ciptaan Karim Nun, juga mengatakan lewat liriknya, yakni "Pulau Pandan jauah lah di tangah. Dibaliak pulau si Angso lah Duo." 

Semasa masih tinggal di Sungai-Geringging, penulis sangat sering mengunjungi pantai Gandoriah untuk menikmati hidangan makanan khas Piaman.  Hal tersebut berlangsung sekitar 8 tahun yang lalu. Sejak tahun 2007, penulis hijrah ke Kota Payakumbuh, setelah itu sangat jarang mengunjungi pantai Gandoriah. Dari Gandoriah, pulau angso duo sangat kelihatan. Rasa penasaran tentang pulau Angso duo ini sudah lama penulis rasakan, seperti apa disana? 

Hari Rabu, (23/12) penulis berkesempatan mewujudkan niat mengunjunginya bersama sekitar 30 orang keluarga besar Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Sukma Bunda Payakumbuh. Tak dipungkiri gaung akan keindahan pulau angso duo sudah menyebar kemana-mana, tak terkecuali di kota "Gelamai" sendiri, sudah menjadi buah bibir, berkat pengguna media sosial yang selalu update menginformasikan.

Di dermaga pantai Gandoriah, kami sudah Di tunggu oleh pak Wan Lumbo-lumbo, yang akan membawa saya dan rombongan ke Pulau angso duo dengan perahu mesinnya. Sambutan pedagang kaki lima dan tukang parkir di dermaga pantai Gandoriah lumayan hangat. Kaca mata salah seorang pedagang kaki lima di pojok parkiraan kami borong, nyaris tiap orang yang ada di rombongan membeli 1 bingkai kacamata, karena harganya cukup murah (Rp.20.000,)- dan juga faktor lupa membawa kacamata, sementara Kota Pariaman panas dan cerah.

Dengan ongkos pulang- pergi 30.000 ribu rupiah per kepala, kami di antar oleh pak wan dengan menggunakan 2 perahu mesin. Kurang lebih 10 menit, rombongan tiba di pulau angso duo. Kawan-kawan yang mulanya mual di atas perahu, langsung kegirangan melihat bibir pantai, sambil jepret sana-sini, rasa "mabuk lautnya" hilang seketika. 
Pulau-angso-duo-pariaman
Pulau Angso Duo Pariaman / Medianers
Turun dari perahu, celana dari lutut bawah basah kuyup, karena belum ada dermaga tempat pemberhentian perahu. Pak wan menjelaskan, " Mohon maaf, bapak dan ibu terpaksa kami turunkan di bibir pantai, alas kaki dan pakaiannya nanti akan basah, karena dermaga kita sedang dibangun dan silahkan dilihat (sambil menunjuk)." Rombongan tidak masalah, karena siap bermain air laut, jadi siap pula untuk basah-basah.

Matahari tegak kokoh di atas kepala, pak wan memandu kami ke tempat yang teduh, dekat musholla. Tikar pun siap di bentang, dan rombongan santap siang, rombongan kelaparan, belum makan dari Payakumbuh. Di pulau kelihatannya belum ada Restoran atau sate Pariaman, yang ada hanya warung, sepertinya menyediakan mie instan dan aneka cemilan serta minuman panas atau dingin saja. Kami sudah memprediksi hal ini, jadi sudah sedia nasi bungkus sebelum makan.

Selesai makan siang, satu- persatu rombongan bergegas mengambil wudhu untuk menunaikan sholat dzuhur. Ketersediaan air bersih, kamar mandi, wc dan tempat ibadah untuk sebuah pulau kecil, penulis acungkan jempol, bagus dan layak. Penulis, tahun lalu juga pernah berkunjung ke salah satu pulau kecil di Sumatera Barat, sarana yang demikian sangat minim, lebih unggul pulau angso duo, ke depannya jika berkenan pemko pariaman menambah jumlah kamar mandi dan wc agar pengunjung tidak lama antrian. Namun, demikian kata pak wan, "sudah ditambah di ujung sana ( sambil menunjuk), tapi belum bisa difungsikan, karena masih dalam proses pengerjaan."

Pak Wan lumbo-lumbo mengaku pada penulis, " saya tidak saja bertugas sebagai pengantar, tapi sekaligus sebagai pemandu, biaya tambahan tidak ada, sudah klop dengan ongkos perahu." katanya sambil tersenyum. Dan, pak wan pun mengantar rombongan ke kuburan panjang, ke sumur tua yang sudah di pagar, dan ia juga menceritakan historis tentang kuburan panjang berdasarkan cerita yang beredar di masyarakat. Pak wan juga menggiring serta mengenalkan seluruh isi pulau pada rombongan, tanya-jawab pun terjadi antara pak Wan dengan beberapa orang teman penulis. Dari segi, keamanan, informasi dan kenyamanan pengunjung, penulis memberi ponten pada pak Wan sebanyak delapan (8), jika rentang penilaian (0-10). Kenapa demikian? Selaku orang Pariaman, penulis merasa pelaku wisata pariaman sudah banyak berubah di banding 7 tahun yang lalu. Dan, orang seperti pak wan patut di apresiasi, karena sudah mulai merubah paradigma dalam meningkatkan kepuasaan pengunjung.

Pak wan yang di dampingi buyung sebagai "kernet"nya, mempersilahkan kami mau apa saja, seperti, snorkling, naik banana boat, atau berenang, atau ngopi di warung atau mengambil photo atau santai di cafe OPC (Orang Pariaman Creative), dipersilahkan sampai batas maksimal pukul 16.00 wib, dan mereka berdua siap menunggu kami, serta menjamin keamanan kami selama berada di pulau. Bahkan, buyung juga menawarkan pada penulis, " jika abang ingin memancing dan bermalam di pulau sana,(sambil menunjuk pulau lainnya) saya siap mengantar dan menemani, atau abang ingin camping bersama kawan-kawan, saya siap menjemput dan mengantar dilain waktu," tawarnya penuh harap.

Tersirat kebahagian sehabis bermain banana boat di wajah-wajah teman penulis. Mereka puas bermain air laut, dan puas menikmati suasana pantai, yang biasanya mereka hanya menikmati pemandangan tebing dan gunung di Payakumbuh. Meskipun bahagia, mereka juga terlihat lelah, seharian bermain, jam sudah menunjukan pukul 15.30 wib. Kami, bersiap untuk meninggalkan pulau angso duo.

Satu hal, yang jadi perhatian dari penulis, yaitu belum tersedianya ole-ole (cindera mata) khas pariaman yang bisa di beli di pulau angso duo atau di sekitaran dermaga. Penulis berpendapat, hal tersebut perlu jadi pertimbangan bagi Pemko Pariaman dalam memudahkan pengunjung untuk menghamburkan uang sebanyak-banyaknya kepada pelaku usaha kecil menengah. Sebagai contoh, pedagang kaca mata sangat cocok di beri lapak di pintu masuk ( dermaga).

Saran penulis, pengambil kebijakan di kota Pariaman hendaknya, memberlakukan jalur masuk dan keluar pulau angso duo dipisah. Di jalur keluar, hendaknya ada kios-kios souvenir dan makanan khas pariaman sebagai ole-ole untuk dibawa pulang oleh pengunjung. Di jalur keluar tersebut, pengunjung dapat melihat-lihat, karena melihat, mereka jadi tertarik membeli. Dan, hal tersebut berpengaruh kepada pendapatan pedagang sekitar, juga berpengaruh pada pendapatan asli daerah kota Pariaman.

Payakumbuh, 23 -12 2015
Tulisan ini juga dikirim dan dipublikasikan di pariamantoday.com dengan judul " Citizen Reporter: Decak Gelamai di Angso Duo." (Anton Wijaya)