Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ini Beban Berat Setelah Tamat Kuliah

“Kualleangi Tallanga Natowalia” adalah “Lebih Kupilih Tenggelam (di lautan) daripada Harus Kembali Lagi (ke pantai)”. Sumber kutipan : Rayesablog
Medianers ~ Ungkapan di atas merupakan slogan nelayan bugis menjelajah lautan. Orang bugis terkenal sebagai pelaut handal, bahkan mereka merantau mengarungi samudra dengan perahu, tak jarang terdampar di rantau hingga menetap dan beranak-pinak di suatu tempat. Mereka akan kembali pulang setelah sukses mendapatkan tangkapan. Kalau gagal, lebih baik tenggelam di lautan.

Slogan demikian, menjadikan orang bugis pemberani dan pantang menyerah dalam menghadapi kerasnya kehidupan. Baik di darat maupun di lautan. Secara bebas, " kualleangi tallanga natowalia" dapat diartikan,"sekali layar terkembang, pantang bersurut pulang."

Sepuluh (10) tahun yang lalu, saya pernah berkenalan dengan orang bugis di Bukit Kapur, Dumai, Riau. Di sana, cukup banyak suku bugis. Mereka membaur dengan suku lainnya, seperti: Suku Minang, rata-rata berdagang di pasar Suka Ramai. Suku Jawa, kebanyakan bekerja di perkebunan dan pabrik sawit. Dan suku Batak mayoritas jadi sopir truk-truk besar pengangkut sawit.

Semua suku akan berinteraksi di pasar suka ramai. Di pasar pulalah pertemuan perdana saya dengan Daeng Bugis kelahiran kota Dumai. Ia kebetulan sering beli kaset VCD di tempat kakak saya. Di Suatu waktu, 'daeng' (orang memanggilnya) duduk di kios tempat kakak saya jualan, hanya sekedar santai dan bercerita 'ini-itu.'

Daeng pun memulai percakapan, ia sudah lama tinggal di Bukit Kapur, turun-temurun, sejak dari lahir. Dahulu kakeknya kesasar di laut Dumai. Semenjak itu, kakeknya menetap di kota pelabuhan ini, dan tidak lagi melaut. Kemudian, ia bertanya pada saya, " tujuan kamu kesini merantau ya?" Tegasnya. " Tidak, hanya untuk silaturahmi dengan keluarga, serta menunggu hasil tes di salah satu Rumah Sakit di kota Pekan Baru." Jawab saya.

Daeng terus mengoceh, bahwa yang berjualan di pasar ini, dan di kota Dumai pada umumnya banyak orang minang. "Kami orang bugis yang tinggal di sini memiliki hubungan baik dengan suku Minang." Ulasnya. Kenyataan, "saya sendiri malah banyak bergaul sama orang minang yang berdagang di sini, terutama sama kakak kamu." Tambahnya.

Daeng juga mengaku jarang pulang ke Sulawesi, karena berat diongkos. " Naik kapal, saya tidak tahan lama di perjalanan, kalau naik pesawat biayanya mahal, akhirnya kalau tidak penting sekali, saya tidak akan pulang kampung, disini juga sudah terasa kampung saya sendiri." cetusnya.

Daeng juga mengomentari tentang orang minang, yang mana menurut pandangannya lihai berdagang, dan mayoritas orang minang yang ia kenal adalah pedagang, nyaris tidak ada yang mau bekerja dikantoran. Lalu dia nanya saya, " Kok kamu mau melamar kerja? Kenapa tidak berjualan saja seperti yang lain? Saya perhatikan, banyak orang minang sukses dengan berdagang." Ucapnya.

"Suatu waktu saya akan berbisnis, tapi untuk saat ini, saya akan mempraktekkan dulu ilmu keperawatan yang pernah saya pelajari." Tutup saya.

Beban Berat Setelah Tamat Kuliah Adalah Merubah Status Pengangguran

Setelah menyelesaikan pendidikan diploma 3 keperawatan (Akper) akhir tahun 2005, hidup saya galau. "Kemana mau kerja?". Semasa menganggur, saya sangat sensitif jika ada yang bertanya," Kamu kerja dimana?" Apalagi orang yang bertanya memvonis saya malas mencari kerja, aduh ! Luar biasa rasanya.

Terkait : Cita-Citaku Bukan Perawat

Untuk menghindari tudingan negatif, awal tahun 2006, setelah 2 bulan mendapatkan ijazah, saya memutuskan hijrah ke Kota Pekan Baru, meninggalkan Sungai-Geringging, Kabupaten Padang Pariaman, tanah kelahiran. Seluruh dokumen terkait untuk melamar pekerjaan saya photo copy 10 rangkap untuk disebarkan di Rumah Sakit yang ada di Kota Pekan Baru.

Di atas bus menuju Pekan Baru, saya selalu teringat kata Pak Mus, adik dari Abak (orang tua laki-laki), ia mengatakan " Jika kamu terus-terusan di Kampung, maka kamu akan menghambat generasi penerus. Kamu akan jadi contoh buruk bagi orang tua di kampung ini yang ingin menyekolahkan anaknya ke jenjang perguruan tinggi. Karena, kamu yang dilihat, setelah tamat sekolah akhirnya tetap jadi pengangguran. Jadi buat apa kuliah, toh akhirnya tetap jadi pengangguran." Tegasnya.

Kalimat demikianlah yang melecut saya untuk segera meninggalkan kampung. Sebelum berangkat, saya telah menghubungi salah seorang teman semasa di SLTA, ia tinggal dan bekerja di Pekan Baru. Saya sudah menjelaskan maksud dan tujuan merantau ke bumi 'lancang kuning' dan teman tersebut juga bersedia membantu, menampung saya tinggal di rumahnya serta berjanji akan mengantarkan saya ke Rumah Sakit yang ingin dituju.

Matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Senja siap menyambut malam. Bus yang saya tumpangi mulai mendekati terminal. Pesan teman saya, jangan turun di terminal, tapi turun sebelum bus masuk terminal, setelah itu hubungi dan tunggu, akan saya jemput. Sesuai pesan, saya minta hentikan bus dan turun di jalan nangka (terminal lama).

Inilah pertama kali saya menginjakkan kaki di Kota Pekan Baru, kurang lebih saya menempuh perjalanan 300 Km. Yah, saya merantau cukup dekat, masih berada di pulau Sumatera. Berhubung, ini pertama kali, saya merasa seperti orang asing clingak-clinguk sambil menunggu teman yang menjemput. Berselang beberapa menit, salah seorang pemuda turun dari motornya, ternyata ia adik teman saya. Sedangkan teman saya sendiri lembur, belum pulang kantor, jadi diwakilkan sama saudaranya. Jelas, dada terasa lapang, awalnya sedikit bingung di tengah keramaian kota.

Menunggu di beranda rumah, di Panam, pinggir kota, saya mengamati orang lalu-lalang. Tiba-tiba teman saya datang, ia selesai bekerja, kami bersalaman, sebagaimana saya menyalami adiknya yang menjemput tadi. Senyum yang tersungging di bibirnya, bagaikan air di padang pasir. Sebab, saya khawatir, akan jadi bebannya, karena tugasnya yang padat di salah satu perusahaan rokok yang sedang giat melebarkan bisnis di Riau.

Saya dipersilahkan mandi, dan setelah itu kami makan malam bersama ibu dan adik-adiknya yang care. Malam itu juga, saya di ajak keliling kota, teman saya itu mengenalkan jalur utama seperti jalan Sudirman, jalan Arengka, hingga jalan-jalan tikus. Selanjutnya ia mengantarkan saya ke beberapa Rumah Sakit swasta yang ada di kota Pekan Baru. Pertanda layar sudah mulai terkembang. Lautan lepas siap dihadang. (AntonWijaya/ Bersambung ke : Menjajakan Ijazah Demi Sebuah Pekerjaan)