Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bolehkah Perawat Meresepkan Obat?

Medianers ~ Gambar resep di atas cukup viral dan menghebohkan dikalangan tenaga medis. Pembahasan hangat pun terjadi di grup-grup tenaga kesehatan, baik di FB maupun di WA.  Banyak yang menyesalkan kok Perawat berani menulis resep layaknya dokter.

Tak sedikit dokter meradang serta mempermasalahkan, karena lahannya diambil. Demikian pula Perawat pun menyesalkan, kenapa sejawatnya mencaplok wewenang profesi lain. Terlepas dari apapun alasannya oknum Perawat yang meresepkan obat tersebut telah mengklarifikasi serta menyampaikan permintaan maafnya pada Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) secara terbuka.

Dalam klarifikasi di akun medsos, ia menyampaikan bahwa resep tersebut bukan bertujuan komersial, tapi untuk membantu rekannya yang membutuhkan obat. Tanpa memikirkan resiko dan tidak menyangka akan timbul masalah, maka ia tuliskan saja resep untuk ditebus di apotik.


Lantas apa yang terjadi?

Kertas resep di upload oleh orang-orang yang merasa prihatin akan kondisi tersebut, bahkan oknum Perawat mendapat kritikan tajam dari kalangan medis. Seperti ini kurang lebih komentarnya:


Pasal 78 UU no 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran: Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15 0.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)."

Terkait kasus ini, bila kita tenaga kesehatan berbuat jujur sesuai aturan, maka di negri ini masih banyak terdapat pelanggaran yang telah dilakukan insan kesehatan terkait resep-meresep ini. Sebagaimana yang diungkapkan Ns.Ocha.

"Banyak loh kasus seperti itu, termasuk saya saat 4 tahun di Jakarta. Klinik 24 jam saya yang kendalikan tanpa dokter. Dokter bahkan 3 bulan sekali datang. Sementara selama waktu itu entah berapa resep, rujukan ke beberapa Rumah Sakit. Saya lah yang tuliskan menggunakan stamp dokter penanggung jawab yang lengkap dengan NIP nya gitu." Demikian komentar Ns.Ocha menanggapi isu tersebut di forum diskusi whats app.

Kasus serupa juga banyak dialami oleh Perawat-Perawat di Puskesmas, karena tidak adanya dokter di ruang Balai Pengobatan. Dokter umum yang bertugas di Puskesmas ketika itu merangkap jabatan sebagai kepala Puskesmas. Jadi oknum Dokter akhirnya melimpahkan kewenangannya pada Perawat untuk memeriksa, menuliskan resep dan melakukan tindakan pengobatan. Hal demikian, penulis saksikan saat masih mahasiswa, praktek di salah satu Puskesmas, di Sumatera Barat, kejadian sekitar tahun 2004.

Pelimpahan wewenang dari dokter demikian, tak bisa Perawat menolak, meskipun ia sadar bahwa apa yang ia kerjakan bukanlah kewenangannya. Tapi, mengingat tahun sudah berubah, apakah praktek demikian masih berlanjut, penulis tidak begitu tau karena saat ini tidak pernah lagi berkunjung kesana.

Penulis berasumsi, kegiatan dan praktek Perawat menulis resep dan memberikan obat masih saja terjadi di negri ini. Karena kekurangan dan tidak terdistribusinya tenaga dokter dengan baik di seluruh nusantara. Jangankan di daerah, di Ibu kota saja masih terdapat praktek demikian sebagaimana pengalaman Ns.Ocha.

Sejak tahun 2014, setelah bergulirnya kasus Mantri Misran di Kalimantan, Perawat sedikit di beri kelonggaran dalam memberi obat kepada pasien oleh UU No 38 tahun 2014 tentang Keperawatan. Yakni pada BAB V, Pasal 30 ayat 1 huruf j. yang bunyinya Perawat dapat "melakukan penatalaksanaan pemberian obat kepada Klien sesuai dengan resep tenaga medis atau obat bebas dan obat bebas terbatas." Perlu dicatat, hanya obat bebas dan obat bebas terbatas, sedangkan obat keras berlogo "K" dalam lingkaran merah, bukanlah kewenangan Perawat memberikannya.

Ada pengecualian, bilamana terjadi kasus gawat darurat dan mengancam nyawa, dilokasi kejadian tidak ada tenaga dokter, maka Perawat boleh melakukan tindakan pengobatan dan tindakan medis diluar kewenangannya, sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Adzanri pada medianers. Silahkan baca di Perawat Boleh Melakukan Tindakan Medis Bila Keadaan Darurat.

Disinilah letak permasalahannya, ketika Perawat dibutuhkan mereka dilegalkan melakukan pekerjaan medis, tapi bila tidak diperlukan maka tubuhnya di campakkan ke penjara. Kemudian, manutnya Perawat di Indonesia terhadap perintah dokter, yang akhirnya Perawat meninggalkan senjatanya, yakni Asuhan Keperawatan. Oknum dokter juga seenaknya memberi pelimpahan wewenang, yang akhirnya membuat oknum Perawat kecanduan pula menulis resep dan memberikan obat kepada pasien.

Kasus ini sudah kronis dan menggerogoti beberapa insan kesehatan yang sulit lepas dari kebiasaan mentaati aturan hukum. Yang namanya aturan "ambigu" ini wajib ditegaskan oleh pemangku kepentingan. Hendaknya dokter bila tidak ingin kewenangan dan lahannya digaduh oleh Perawat, maka jangan sekali-kali memberikan kewenangan pada Perawat. Kerjakan apa yang sudah jadi kewenangan anda. Demikian juga Perawat bilamana tidak ingin dijadikan alat pelimpahan wewenang maka tolak saja mentah-mentah yang bukan kewenangan anda. Sebab, anda akan terbiasa, dan menjadi kebiasaan sehingga dikira jadi dokter icak-icak.

Pada dasarnya penulis tidak ingin membahas ini, karena sudah jadi rahasia umum dikalangan kesehatan, bahwa Perawat banyak memangku pekerjaan dokter, terutama di daerah terpencil. Akan tetapi, isu ini dilontarkan oleh beberapa orang dokter di media sosial, yang seharusnya dibahas selingkar antara organisasi profesi, dinas kesehatan setempat dan pihak berwajib saja, karena itu penulis juga terpanggil untuk mengulasnya dari sudut pandang berbeda, sebagaimana yang diungkapkan oleh Nara, diplomat Indonesia saat menyampaikan sanggahan pada beberapa negara-negara benua Ocenia di forum PBB, bahwa nara berujar, " Ketika seseorang menunjukkan jari telunjuknya pada yang lain, jari jempolnya secara otomatis menunjuk pada wajahnya sendiri."

Harapan penulis, berhentilah bergigih soal kewenangan ini dibahas di media sosial, agar masyarakat yang akan berobat tidak bingung. Masyarakat hanya menginginkan kesembuhan dan pelayanan memuaskan dari tenaga kesehatan, bukan menyaksikan tenaga kesehatan saling gontok-gontokan di media sosial.(AntonWijaya