Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengalaman di Plonco dan di Intimidasi di Kampus

Medianers ~ Bintik-bintik keringat mulai mengucur di setiap pori-pori tubuh. Hawa panas pantai Pariaman menghampiri Kampus kami yang letaknya sangat dekat dengan bibir pantai, sekitar 10 meter. Sehingga hawa panas pantai sangat kental terasa ke dalam kelas.

Arloji di tangan kanan menunjukan pukul 11.30 wib. Matahari mulai tampak dengan gagah berdiri sejajar di atas atap kampus. Baju bagian dada nyaris lembab oleh keringat, di dalam kelas tidak ada Air Conditioner (AC) atau kipas angin, yang ada hanya ventilasi, berharap angin segar menyusuri ruang-ruang kosong agar udara dapat menyejukkan tubuh yang sedang gerah.

Hawa panas tidak saja datang dari arah pantai, tapi juga karena ruangan yang sesak di isi oleh 50 orang mahasiswa baru. Kelas kami persegi empat, kira-kira berukuran lebar 6 meter dan panjang 10 meter, di isi 51 kursi lengkap dengan tempat menulis dan 1 meja serta perlengkapan alat peraga  ajar- mengajar dosen.

Suasana tidak nyaman, ribut, teman-teman seangkatan saling ngobrol satu sama lain, karena dosen tidak ada dalam kelas, termasuk aku asyik juga bicara dengan Dodi, teman baru yang duduk di samping. Seakan-akan suasana dalam lokal mirip di acara pesta ulang tahun teman ku waktu SLTA.

Yah, ini hari pertama berada dalam kelas. Aku belum kenal dengan semua mahasiswa baru yang ada dalam ruangan, karena aku telat masuk, baca ceritanya di " Kenalan baru pada kuliah perdana ".

Tiba- tiba. "Kakak tingkat 3 datang, cepat rapikan posisi" ucap salah seorang mahasiswi berjalan sambil tergesa-gesa dari luar menuju ke dalam kelas, ia memberi aba-aba sambil mencari kursi tempat duduknya. Mahasiswi itu seangkatan dengan ku, kami satu kelas. Sementara yang lain sibuk mencari tempat duduk masing-masing dan merapikan posisi, seketika kelas menjadi hening. Seperti ada yang menahan nafas.

Aku heran, kenapa mereka semua, teman sekelas ku begini? Apakah mereka takut atau patuh pada senior? Sambil bertanya-tanya dalam hati.

Seketika, Dodi berbisik di telinga ku "Mereka akan menghajarmu kawan, Ia menempati janjinya."

Suara gaduh gerak langkah senior angkatan 2 dan 3 muncul dari pintu masuk kelas. Dan, aku cemas, bibir ku pucat tak berdarah.

Sebelumnya aku telah di hadang oleh 'Singa betina' Kampus di depan gerbang dan mengancam akan mendatangi ke dalam kelas, mereka menepati janji, karena belum puas mem-plonco aku, anak baru yang telat masuk dan tidak ikut PPS.

Dengan suara menggelegar seakan membelah tiap sisi dinding ruangan, salah seorang senior cewek memanggil nama ku, " Anton Wijaya mana? Ayo ke depan kelas, perkenalkan identitas mu kepada kami" instruksinya tegas.

Kakiku gemetaran berdiri, beberapa pasang mata teman -teman ku menyorot penuh tanya, seolah-olah mereka mengasihani.

"Ayo cepat ! Kamu jangan bingung begitu" senior menghardik.

Aku ingat masa SLTA, tidak ada satu pun siswa yang berani berbuat seperti itu, karena mereka takut aku keroyok bersama teman ku preman pasar Sungai-Geringging. Namun, yang ku hadapi sekarang adalah segerombolan cewek 'buas' yang tidak takut pada lelaki gagah yang sedang ia hadapi. Malahan aku yang 'keok' sekaligus tremor.

Di depan kelas, di hadapan teman-teman sekelas, aku di interogasi, "Kenapa kamu tadi melawan kami di gerbang kampus, hah? Tuduhnya padaku. "Kamu jagoan ya?" Dan beragam kalimat intimidasi tertuju padaku. Rasanya benar-benar malu di perlakukan seperti itu. Apalagi di depan cewek-cewek cantik satu lokal yang belum aku kenal. Harga diriku mulai mereka pijak-pijak, aku marah, tapi aku tidak berani melawan.

Senior-senior itu terus mengolah, dan berebut kata memarahi. Sehingga suasana menjadi bising, dan aku tidak paham apa yang mereka marah kan.

Rasanya Ingin aku hadiahi kepala mereka satu-persatu dengan 'ketupat bengkulu' biar bengkak, akan tetapi aku tak tega, mereka wanita, yang katanya lemah lembut, wajib di lindungi dari tindakan kekerasan.

Tak satu pun kulihat senior lelaki yang ikut menginterogasi. Kalau ada aku berani menantang satu lawan satu, dari pada di intimidasi di muka umum oleh segerombolan cewek.

Kondisi yang tidak menyenangkan itu, di rasakan oleh ponakanku, Maria. Dia tingkat 2 angkatan 2, satu tahun di atas ku, kami satu kampus dan dia termasuk senior. Maria membela 'Apak' panggilan sehari-hari untukku darinya. Aku adik kandung Papa Maria. " Sudah tu kak, tadi kan hanya meminta Pak Anton untuk memperkenalkan diri, jangan di tambah yang lain-lain." Ucapnya meminta pada Kakak senior tingkat 3 angkatan 1.

Melihat Maria mulai tidak senang, senior angkatan 3 mulai memahami, dan aku pun di suruh memperkenalkan diri. Setelah memperkenalkan diri, mereka keluar dari kelasku dan aku merasa lega.

Berselang beberapa menit, dosen pun masuk kelas, dan menanyakan " Mengapa mahasiswi tingkat 3 masuk kesini?". Teman-teman ku menjawab serentak, " Mau memplonco mahasiswa baru buk.".  Dosen marah mendengar hal tersebut. " Ini bukan jadwal PPS, tidak ada lagi plonco-ploncoan. Nanti kalau mereka datang lagi, beri tahu Ibuk." Ungkap buk dosen. " Yaa buk" jawab kami serentak lagi.

Sejak itu, senior angkatan 2 dan 3 tidak pernah lagi memplonco, mungkin dosen memberitahukan pada mereka, bahwa tidak ada lagi kegiatan plonco-ploncoan pada mahasiswa baru.

Setelah menjalani perkuliahan beberapa hari, aku mulai mencari tau nama-nama senior yang pernah menghardik dan memplonco, demikian juga dengan teman sekelas, kami sudah bisa menyatu satu sama lain.

Berjalannya waktu, aku telah banyak mengenal senior angkatan 2 dan 3, meskipun ada umurnya di bawah dan se usiaku, aku tetap memanggilnya kakak. Sebab itu aturan mainnya di Kampus.

Kadang-kadang fakta berbalik, aku mulai agresif setelah mengenal mereka. Aku tahu di Kampus mahasiswa laki-laki sangat langka, dan aku mulai merayu mereka hingga tersipu malu. Sebab aku menyadari, aku cowok mahal dan langka di Kampus. Angkatan 1 hanya ada 2 orang cowok, angkatan 2 memiliki 4 orang mahasiswa cowok, sedangkan angkatan 3 sebanyak 5 orang lelaki ganteng. Jadi dari keseluruhan 150 orang mahasiswa, hanya 11 orang lelaki gagah dan ganteng yang jadi selebritis kelas atas di Kampus, selebihnya wanita-wanita 'kesepian'.

Sejak aku mengenal dan berkawan dengan senior angkatan 2 dan 3 hingga sampai sekarang, aku tidak pernah menyimpan dendam, apalagi memusuhi mereka.

Meskipun telah di hardik dan di intimidasi aku ambil nilai positifnya, berkat perkenalan keras mereka, aku tidak canggung saat praktek klinik Keperawatan di Rumah Sakit. Ternyata kehidupan lebih keras di Rumah Sakit dari pada di Kampus, kena marah dan intimidasi itu sudah biasa di alami mahasiswa di lahan praktek.

Malahan aku tersenyum jika mengingat masa lalu, dan berterima kasih kepada senior yang telah meninggalkan 'sepotong' kenangan yang tidak akan pernah aku lupakan.(*5/Anton Wijaya)