Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketika Hadapi Persoalan Ini Bikin Perawat Stress

Medianers ~ Bekerja sebagai Perawat di Rumah Sakit banyak hikmah yang dapat dipetik nan sarat dengan pengalaman hidup. Pastinya, Perawat akan banyak pula menemui keluhan dan segala macam penyakit. Berangkat dari pengalaman demikian, merupakan pedoman berharga bagi Perawat untuk selalu menjaga agar kesehatannya tetap terjaga. Serta berusaha pula menciptakan hubungan harmonis dengan siapa saja.

Perawat akan bisa mengambil suatu kesimpulan setelah mempelajari riwayat penyakit pasien. Seraya bisa mengetahui seluk-beluk kharakter dan watak berbagai pasien dan keluarga yang dihadapinya. Bila orangnya seperti ini, maka reaksinya menanggapi sesuatu perihal akan seperti ini. Hal demikian bisa diketahui dari contoh yang sudah pernah terjadi.

Kesimpulan ini penulis rangkum berdasarkan apa yang pernah dilihat dan rasakan karena sering berinteraksi dengan berbagai macam orang dan beraneka kasus di rumah sakit.

Dari berbagai pengalaman yang penulis rasakan dan lihat tersebut, yang tersulit itu adalah melayani keluarga pasien. Sedangkan pasien sendiri mayoritas akan patuh terhadap proses pengobatan demi mencapai keadaan kesehatan lebih baik.

Dapat penulis contohkan, bila melayani pasien dan keluarganya yang memiliki banyak relasi dengan pejabat dan orang penting di suatu daerah, atau pejabat itu sendiri, atau dengan orang yang merasa berkuasa, maka kecenderungannya Perawat harus siap-siap untuk mendapatkan komplain, bahkan mendapat tekanan psikis bila tidak memberikan pelayanan memuaskan sesuai standar mereka.

Terkadang, pasien dan keluarganya seperti yang penulis maksud tidak segan-segan berkata kasar pada Perawat, seraya mengancam akan mempermasalahkan melalui kekuasaan yang ia miliki.

Sebagai Perawat, hal tersebut harus menjadi perhatian khusus, terkadang Perawat dituntut oleh situasi untuk bekerja ekstra demi menjaga marwah keprofesiaanya, termasuk institusi tempatnya bekerja agar tidak dilecehkan. Maka dari itu, Perawat lebih cendrung menerima keadaan dan siap salah. Padahal secara SOP tidak harus demikian, tidak harus takut menghadapi. Tapi, kenyataan berkata lain.

Kemudian, saat menghadapi keluarga pasien tidak bisa menerima kenyataan atas meninggalnya keluarga mereka saat menjalani perawatan. Meja, pintu dan benda lainnya berpotensi melayang, bahkan bisa mengenai Perawat itu sendiri atau petugas lainnya. Namun, hal demikian hanya bisa dimaklumi, karena dalam teori proses kehilangan (berduka) Menurut Kubler-Ross (1969) ada 5 proses/ tahap yang akan dilalui oleh orang ditinggalkan (keluarga pasien), diantaranya:

1.Terjadi Penyangkalan (Denial), yakni menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Akan muncul kalimat seperti ini, “Tidak, tidak mungkin seperti itu,” atau “Tidak akan terjadi pada keluarga saya, seandainya kamu....!” Pernyataan demikian, umum dilontarkan oleh keluarga pasien atas kekecewaannya terhadap layanan kesehatan dari Perawat maupun petugas lainnya yang tidak berhasil menolong.

2. Marah (Anger),yaitu pada tahap ini orang akan lebih sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal tersebut terjadi sebagai bentuk menutupi rasa kecewa dan merupakan menifestasi dari kecemasannya menghadapi kehilangan orang yang ia sayangi dan cintai.

3. Penawaran (Bargaining), pada tahap ketiga ini, seseorang berupaya untuk mencegah kehilangan. Tapi, apa daya, tidak akan bisa kembalikan keadaan. Akhirnya, berusaha mencari masukan dan pendapat dari orang lain yang ia percaya.

4. Depresi (Depression), yakni ketika kehilangan telah disadari benar adanya maka akan timbul dampak nyata dari makna kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk berupaya melewati kehilangan dan mulai berusaha memecahkan masalah.

5. Penerimaan (Acceptance), yaitu Kubler-Ross mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah dan berputus asa.

Nah, saat kejadian proses kehilangan atau berduka di rumah sakit, keluarga pasien cendrung berada pada tahap 1 dan2 sehingga Perawat sebagai 'ujung tombak' pelayanan akan menjadi sasaran kekecewaan, bahkan diperlakukan kasar. Namun, pada umumnya Perawat berusaha memahami, dan berupaya memperbaiki keadaan. Sebab, teori si Kubler-Ross itu selalu didengungkan sebagai bagian dari prosedur saat menghadapi pasien dan keluarga jelang dan pasca sakratul maut.

Yah, kira-kira demikianlah hal paling sukar dihadapi Perawat di rumah sakit atau di sarana pelayanan kesehatan. Namun, Perawat dituntut untuk bisa memahami situasi tanpa melakukan perlawanan yang bisa memperburuk keadaan. Padahal sebagaimana yang pernah dituliskan oleh Dudut Tanjung Mahasiswa Keperawatan, Program Doktoral di Universitas Indonesia dalam sebuah artikel di medianers bahwa, "WHO telah menekankan "zero tolerance" terhadap kejahatan fisik maupun psikis kepada petugas kesehatan saat bekerja."(AntonWijaya)