Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dolar Mengamuk, Harga Obat Melonjak, Ini Dampaknya

Medianers ~ Beberapa hari terakhir dolar seakan 'mengamuk', sehingga nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat tertekan, yakni 1 USD sama dengan Rp. 14.820,00 pada tanggal 8 September 2018.

Bila tidak teratasi dengan cepat, kondisi demikian berpotensi membuat harga obat dalam negri 'melonjak' atau mengalami kenaikan. Sebab, menurut Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI), negara Indonesia sekitar 95% masih mengimpor bahan baku obat.

"Bahan baku yang paling banyak diimpor itu adalah bahan baku beta laktam untuk menjadi amoksilin, dan sterol untuk parasetamol, seratus persen impor bahannya," ungkap peneliti dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Dr. Dwi Susilaningsih, (2017).

Ungkapan Dr. Dwi Susilaningsih tersebut seakan dianggukan oleh informasi dari situs kemenperin.go.id bahwa, "nilai impor bahan baku obat diprediksi mencapai Rp 11,4 triliun pada 2012." Dan, pada tahun 2015 nilai impor bahan baku obat diperkirakan mencapai Rp 15 triliun (rmoljabar.com).

Terpisah, Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Farmasi (GP Farmasi) Darodjatun Sanusi mengungkapkan pada bisnis.com bahwa, "industri farmasi nasional dapat mengimpor bahan baku kebutuhan obat dengan nilai mencapai US$2,5 miliar sampai dengan US$2,7 miliar setiap tahun. Angka tersebut belum termasuk nilai impor kemasan yang masuk ke dalam negeri."

Sementara, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pemasok Bahan Baku Obat (Pharma Materials Management Club) Kendrariadi Suhanda menjelaskan secara rinci, "Indonesia saat ini mengimpor bahan baku obat terbanyak dari Tiongkok, India, dan kawasan Eropa. Tiongkok masih menjadi negara sumber pemasok terbesar kebutuhan bahan baku obat Indonesia, yakni sekitar Rp 6,84 triliun (60%), India di posisi kedua Rp 3,42 triliun (30%), dan Eropa Rp 1,4 triliun (10%)."

Maknanya, jika diamati data impor bahan baku obat dari tahun ke tahun berdasarkan informasi dari berbagai situs kementrian terkait, maupun situs media mainstream, terus terjadi peningkatan signifikan. Dan, transaksi impor bahan baku obat pastinya menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat.

Jika nilai mata uang dolar terus 'mengamuk' bertahan di angka Rp.14.000,00 - 15.000,00 dikhawatirkan butuh dana tambahan untuk beli bahan baku obat. Dampaknya harga obat yang telah dikemas juga akan 'melonjak' naik yang berpotensi memperburuk perekonomian bangsa. Pastinya, sektor kesehatan akan mengalami kemunduran, dan kesejahteraan masyarakat bisa terancam.

Pemerintah Upayakan Melepaskan Ketergantungan Impor Bahan Baku Obat

Sebetulnya dengan kenaikan nilai tukar dolar secara mendadak tidak terlalu mempengaruhi harga bahan baku impor obat. Dengan catatan rupiah kembali menguat dan normal dalam waktu dekat. Namun, solusi yang paling prioritas adalah, bagaimana caranya Indonesia melepaskan ketergantungan bahan baku obat impor?

Oleh karena itu, pemerintah pusat telah memikirkan untuk mengatasi persoalan itu, melalui Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan dan Kementrian Kesehatan dengan mempermudah investor berinvestasi di bidang farmasi. Terutama bidang produksi bahan baku obat.Bahkan, 10 tahun kedepan Indonesia juga diharapakn akan menjadi eksportir bahan baku obat.

Investor dimaksud adalah, PT Kalbe Farma Tbk dan PT Kimia Farma Tbk (KF), membangun industri bahan baku obat untuk mengikis ketergantungan impor. Total investasi yang dikucurkan dua perusahaan itu mencapai Rp 500 miliar.(kemenperin.go.id)

“Yang kami bangun adalah bahan obat biofarmasi dengan dasar biologi, bukan bahan baku obat yang berdasarkan turunan kimia,pembangunan telah dimulai sejak tahun 2015,” ungkap Sekretaris Perusahaan dan Direktur Keuangan Kalbe Vidjongtius.

Senada dengan itu, sebagaimana dilansir katadata.co.id bahwa, Direktur Corporate Business Development PT Kalbe Farma Tbk Sie Djohan membeberkan," penggunaan bioteknologi dalam industri farmasi sebenarnya mudah dilakukan. Ini karena di Indonesia bahan baku untuk pengembangan bioteknologi lebih mudah didapatkan ketimbang bahan baku obat kimia."

Selain itu, pendirian pabrik bahan baku bioteknologi juga dianggap dapat menghasilkan devisa negara karena olahannya dapat diekspor. Menurut Djohan, "senantiasa Indonesia dapat melakukan penghematan hingga 90% dari total devisa yang biasanya dikeluarkan untuk impor bahan baku obat."

"Sebagai masyarakat awam, kita tentu berharap kepada pemerintah untuk bisa mengatasi persoalan tersebut secepatnya. Sebab, dengan kondisi nilai tukar dolar yang tidak stabil. Hendaknya, Indonesia juga bisa menjadi pemain untuk mendatangkan pendapatan dari sektor farmasi dengan cara menjadi produsen bahan baku obat dan menjadi negara eksportir, bukan sebagai negara pengimpor," ucap Novera Akmal, selaku praktisi kesehatan di Kota Payakumbuh, Sumbar menanggapi persoalan yang sedang dihadapi negara.(Dihimpun dari berbagai sumber/ Editor : Anton Wijaya / Foto Ilustrasi : pixabay.com).