Atonia Uteri Merupakan 'Malaikat Pencabut Nyawa' Pasca Melahirkan
Apa itu Atonia Uteri?
Atonia Uteri yaitu suatu keadaan perdarahan hebat pasca melahirkan, dikarenakan otot-otot uterus (rahim) melemah dan tidak mampu berkontraksi dengan baik, sehingga ujung-ujung pembuluh darah tempat plasenta tertanam tidak menutup sehingga darah terus mengalir ke rongga rahim, sebagai dampak tidak adanya kontraksi uterus.
Bila kondisi Atonia Uteri terjadi pasca melahirkan, petugas kesehatan seperti Bidan dan dokter ahli kebidanan akan kelabakan. Kasus Atonia Uteri ini termasuk emergency yang wajib ditolong segera. Biasanya, berakhir di kamar operasi apabila tindakan pengobatan dan tindakan manual seperti memijat rahim, untuk merangsang kontraksi tidak berhasil atau pasang tampon tidak dapat mengatasi perdarahan.
Faktor Pencetus / Penyebab Atonia Uteri
Banyak faktor diduga sebagai pencetus atau penyebab terjadinya Atonia Uteri, diantaranya sebagai berikut:
- Melahirkan anak kembar;
- Melahirkan anak terlalu besar;
- Kelelahan;
- Proses persalinan lama, karena adanya penyulit;
- Lebih dari 5 kali melahirkan (grande multipara);
- Keadaan umum ibu yang jelek;
- Anemia;
- Ibu menderita penyakit kronis;
- Adanya Mioma uteri ( dapat menganggu kontraksi);
- Adanya Infeksi dalam rahim;
- Atonia Uteri berulang (ada riwayat).
Pengobatan/ Tindakan Atonia Uteri
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bila therphy dengan obat-obatan tidak berhasil, atau dengan tindakan pemijatan fundus. Bahkan, ada juga dilakukan tindakan fiksasi rahim dengan benang agar lebih padat, dengan harapan perdarahan bisa berhenti dan kontraksi kembali normal. Namun, bila segala daya dan upaya itu tidak mampu merangsang kontraksi, dan menghentikan perdarahan, maka ibu pasca melahirkan dipersiapkan untuk operasi cyto (segera). Kemudian, perdarahan massive yang telah mengakibatkan hb dalam darah menurun drastis maka wajib ditambah melalui transfusi darah. Semuanya disiapkan sesegera mungkin. Kadang transfusi, berlangsung di meja bedah.
Di Kamar Operasi, dokter ahli kebidanan dan tim akan melakukan tindakan histerektomy, yaitu uterus atau rahim sebagai sumber perdarahan dipotong lalu diangkat. Artinya, si ibu tidak lagi memiliki rahim. Tindakan demikian hampir 90 berhasil mengatasi perdarahan. Namun, ada juga yang gagal. Angka keberhasilan 90 persen perkiraan penulis saja. Berkaca dari pengalaman, 10 tahun dinas di kamar operasi. Manakala kasus Atonia Uteri dengan hb di bawah 7, maka perdarahan sangat sukar diatasi dan biasanya si ibu tidak terselamatkan.
Dalam hitungan jam, si ibu bisa saja mengalami anemis berat, bahkan syok karena kekurangan cairan tubuh, meskipun telah diberi beberapa kantong darah melalui transfusi, kemudian telah dimasukan cairan infus ditangan kiri dan kanan, bahkan 3 sekaligus hingga di kaki.
Menurut dokter Suhadi selaku dokter ahli kebidanan dan kandungan di RSUD dr Adnaan WD, pernah mengatakan pada penulis, " pada kasus Atonia Uteri, karena perdarahan hebat, zat beku darah (trombosit) akan mengalami gangguan, sulit membeku secara alami."
Fakta demikian pun penulis lihat secara kasat mata. Pasien Atonia Uteri yang telah diangkat rahimnya (histerektomy) masih saja mengalami perdarahan pervaginam. Padahal bekas luka sayatan telah dijahit rapat, dan pasien tidak pula mengalami kelainan darah seperti, riwayat penyakit hemofilia.
"Hemofilia adalah penyakit yang menyebabkan tubuh kekurangan protein yang dibutuhkan dalam proses pembekuan darah bilamana terjadi perdarahan. Protein ini lazim disebut faktor pembekuan atau faktor koagulasi." (dikutip darialodokter).
Kesimpulan, kasus Atonia Uteri ini paling ditakuti oleh petugas kesehatan, terutama Bidan, dan dokter kebidanan. Karena kehadiran Atonia Uteri pasca melahirkan bagaikan 'malaikat pencabut nyawa.' Proses berlangsung cepat, dan sangat gawat darurat yang bisa berakhir kematian.
Sesungguhnya, resiko terjadinya Atonia Uteri ini bisa dicegah dengan memperhatikan faktor pencetus atau penyebab yang telah dijelaskan di atas. Bila Anda memiliki faktor pencetus, maka usahakan siaga 1, selalu kontrol kehamilan di pelayanan kesehatan. Dan, ikuti saran selama kehamilan. Demikian.(AntonWijaya)
Baca Juga : Apa itu Placenta Previa, dan Apa Saja Gejalanya?