Berpikir Besar Jika Anda Ingin Menjadi Besar, 'Enjoy Nursing'
Medianers ~ Memulai menulis merupakan sesuatu yang berat menurut saya, mengumpulkan ide, butuh ketenangan, menunggu mood.
Saya tidak habis pikir gimana caranya Bapak Syaifoel Hardy begitu produktifnya menulis.Biasanya ide akan datang saat dead line sudah diambang pintu Sebuah kebiasaan jelek yang sudah mengakar.
Minus 4 derajat celcius, cuaca yang sangat dingin dan turunnya salju menemani saya memulai menulis artikel ini. Ya,hari ini pertama turun salju untuk musim dingin di kota Den Haag Belanda. Di saat di Indonesia rata-rata suhu 32 derajat celcius disini minus 4. Perbandingan yang sangat extrem.
Topik pembicaraan yang sangat umum di Belanda “cuaca”. Keluhan dinginnya cuaca menjadi makanan sehari hari. Sedangkan keluhan panas menjadi topik face book untuk teman teman di Indonesia. Itulah manusia...tempatnya berkeluh kesah. Disaat orang belanda berlomba lomba kepengen kulitnya coklat, di Indonesia perang iklan produk pemutih wajah. Aneh memang yang namanya manusia.
Masih terlintas kemaren saat visite dokter. Perbandingan yang bisa dikatakan mencolok hubungan antara perawat dan dokter antara di Indonesia dan Belanda. Begitu profesionalnya hubungan di sini, memang perawat yang 24 jam bersama pasien tentunya lebih tahu daripada dokternya.
Tidak ada istilahnya gila hormat, semua menjalankan profesinya, dan saling berkolaborasi. Bahkan kita bisa memanggil namanya di sini, tidak perlu dengan panggilan “dok”. Kedisiplinan dan kerja keras juga menjadi modal yang sangat diperlukan untuk bisa bekerja di eropa.
Tidak ada kata leha-leha, tidak ada “jam tidur” saat dinas malam, tidak ada jam karet. Full stress kadang sering kita rasakan. Kedisiplinan yang keras ini membawa dampak positif.
Sebelum cerita banyak mengenai pengalaman di Belanda, saya akan flashback tentang pengalaman- pengalaman, sampai saat ini.
Semua bisa berawal dari mimpi, tetapi ini juga menjadi guyonan salah satu teman, untuk bisa bermimpi, kita harus tidur dulu, makanya banyak-banyak lah tidur, untuk bisa bermimpi!
Saat menghadapi menghadapi masa masa semester akhir,beberapa tahun lalu, saya menuliskan apa yang akan saya cita citakan selepas kuliah akper Depkes Malang.
Sederetan angan- angan telah saya tulis : menjadi perawat di luar negeri, pengen sekolah setinggi tingginya, menjadi PNS, menjadi dosen, menjadi pengusaha.
Tidak tahu mana yang akan saya capai, kalau bisa lebih dari satu akan menjadi kenyataan, pikir saya saat itu.
Layaknya mahasiswa yang baru tamat, saya menyebarkan surat lamaran kerja ke beberapa rumah sakit sekitar Jawa Timur.
Tidak lama setelah itu, ada panggilan wawancara di salah satu rumah sakit Islam swasta di Banyuwangi. Itulah pertama kali saya mendapat surat panggilan kerja. Was- was dan tentu saja “spanneng” kata orang Jawa (ternyata kata spanneng ini berasal dari bahasa Belanda “spannend”) yang berarti tegang.
Cerdas juga orang jawa dahulu.Dari hasil tes tulis saya dinyatakan lulus, tetapi hasil wawancara dinyatakan tidak lulus. Wawancara yang ternyata membuat saya gagal saat itu adalah…mereka bertanya tipe pemimpin yang saya idamkan, sesuai dengan Hadist Nabi yang pernah saya baca…jujur, adil, dan segala macamnya, termasuk salah satunya adalah laki-laki.
Ternyata jawaban ini yang membuat saya tidak bisa diterima, karena yang mewawancarai saat itu adalah perempuan dan dia adalah direktur di rumah sakit tersebut. Dan satu lagi, dia bertanya kenapa saya memakai baju warna orange, saya bilang karena saya suka warna yang mencolok, yang bisa diartikan dengan berani.
Semakin lengkaplah alasan saya tidak diterima di rumah sakit tersebut, karena rumah sakit tersebut butuh “perawat patuh”.
Sambil menunggu panggilan yang lain, teman sekelas Akper saya dulu menelfon untuk mengajak kerja di luar negeri. Mendengar ajakan ke negara Eropa membuat saya sangat antusias untuk pergi kesana.
Akhirnya saya menginjakan kaki ke ibukota Jakarta pertama kalinya untuk mengikuti pelatihan bahasa.
Mempelajari bahasa Belanda bisa dibilang sangat susah. Dengan semangat tinggi saya mempelajarinya dari pagi sampai malam. Ada perasaan senang juga mempelajari bahasa yang benar benar baru untuk kita pelajari.
Dalam waktu sekitar 4 bulanan secara intensif, kita mulai bisa sedikit ber-ba-bi-bu dalam bahasa Belanda.
Ada sedikit pertanyaan di benak saat itu. Mengapa kita belajar bahasa Inggris yang mulai SD kita pelajari sampai setingkat kuliah tetep aja bahasa inggris kita bisa dibilang gitu-gitu aja.
Pasti ada yang salah dengan metode pembelajaran yang salah.Padahal bisa dibilang bahasa inggris merupakan salah satu kunci membuka pintu global.
Semoga ada metode yang benar benar membuat gampang berbahasa inggris untuk bangsa ini…Amin.
Kebimbangan mulai saya rasakan saat tidak ada kepastian untuk berangkat ke Belanda. Tentu saja pelatihan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit, apalagi sampai saat itu masih menggantungkan uang saku.
Bahkan pernah di saat Bulan Puasa saking tidak adanya uang lagi saya sahur dengan mie instan dan berbuka dengan mie instan lagi.
Alhamdulillah masih bisa makan. Saat liburan akhir pekan saya sempatkan jalan-jalan bersama teman ke Universitas kebanggaan Indonesia , UI. Di papan pengumuman Fakultas Kesehatan Masyarakat, terdapat lowongan pekerjaan D3 keperawatan untuk bekerja di salah satu perusahaan asuransi swasta milik Jerman Allianz.
Sempat berfikir sejenak, untuk apa ya kira-kira seorang perawat dibutuhkan bekerja di asuransi...karena saat itu tidak ada pandangan sama sekali untuk bisa masuk di perusahaan asuransi. Salah satu syaratnya adalah bahasa Inngris dan bisa komputer.
Bismillah, dengan penuh keyakinan saya mengirimkan surat lamaran ke perusahaan asuransi tersebut. Seminggu setelahnya saya mendapat panggilan wawancara dan tes tulis.
Perawat juga bisa berdasi, itulah terlintas dibenak saya saat itu. Ya, dengan pedenya saya mulai bekerja diperusahaan asuransi ini. Gedung bertingkat, penuh dengan sliweran orang orang yang harum dengan parfum mahal, di sekitar kawasan Sudirman Jakarta. Tidak terbayang pengalaman pertama saya bekerja setelah tamat AKPER. Ternyata perawat itu jangkauan kerjanya sangat banyak sekali.
Sekitar seminggu saya mendapatkan training apa yang saya lakukan di perusahaan ini. Ternyata sangat berurusan dengan administrasi. Kita istilahnya mengedit setiap klaim yang masuk diperusahaan tersebut. Misalnya ada tagihan asuransi, kita memeriksa apakah obat obatan atau tindakan yang ditagihkan tersebut sesuai dengan penyakitnya. Kalau tidak sesuai kita akan menolak klaim tersebut.
Gaji yang ditawarkan di perusahaan disini juga bisa dikatakan tinggi dengan gaji yang diterima sebagai perawat pelaksana. Jadi teman teman perawat yang ingin mencoba “dunia lain”selain di pelayanan, bisa melamar ke perusahaan arusansi yang mempunyai asuransi kesehatannya.
Selama menunggu kabar dari Belanda saya bekerja di perusahaan asuransi tersebut. Menunggu dan menunggu sampai hampir dua tahun lamanya. Akhirnya ada kabar baik dari pihak Belanda. Agak berbeda dengan program pertama yang ditawarkan, ini semacam program pertukaran budaya dan bahasa, dengan tinggal dirumah salah satu keluarga di Belanda. Program Aupair namanya. Dengan alasan satu tahun belajar bahasa, nanti akan ditempatkan di Rumah sakit atau rumah perawatan lansia (Verpleeghuis).
Program apapun itu saya berharap bisa berangkat.Tepatnya Januari 2004 saya akhirnya bisa berangkat juga di Belanda. Pengalaman ini sebenarnya pengalaman yang sangat jarang saya ceritakan kepada teman teman. Yang penting mereka tahu saya ada di Belanda. Tapi ini juga merupakan bagian dari perjalanan hidup saya sebagai perawat.
Saya tinggal di rumah salah satu famili Belanda. Perasaan syok segala macam ada di benak saya saat itu.
Dengan bahasa Belanda yang terbata bata saya mulai ngobrol dengan mereka. Pertukaran budaya dan bahasa dan juga “ngemong”anak orang belanda. Itulah sebenarnya program aupair. Karena anak anak mereka sudah agak besar, saya lebih senang mengerjakan pekerjaan rumahan. Menyapu halaman, menyetrika dan membantu anak-anak membuat PR menjadi runititas saya sehari –hari. Sempat ada perasaan menangis dalam hati ini ketika suatu saat musim dingin, cuaca minus saya harus menyapu halaman. Think a big if u want to be big selalu ada di pikiran saya saat itu!
Hampir setahun saya menjadi aupair. Beberpa bulan saya juga stage di verpleeghuis. Selama itu juga saya mengajukan lamaran ke beberapa rumah sakit dan verpleeghuis. Beberapa instansi sudah menerima saya bekerja disana, tetapi kendala surat perijinan bekerja di Belanda sangat sulit sampai sekarang juga. Surat perijinan untuk bekerja di Eropa sekarang ini sangatlah sulit.
Suatu lembaga di Eropa memprioritaskan orang orang Eropa untuk bekerja di instansinya. Jadi jika ada rumah sakit, atau instansi kesehatan menginginkan perawat dari Indonesia dia harus melalui banyak prosedur. Instansi tersebut harus menaruh lowongan pekerjaan di Koran, majalah atau internet. Setelah tiga bulan dipublikasikan tidak ada warga Belanda yang melamar, mereka harus memperluas pengumuman lowongan tersebut di seluruh Eropa.
Tidak semua negara-negara Eropa adalah Negara makmur, banyak juga tenaga Eropa terutama Eropa Timur bekerja di Belanda, seperti dari Polandia, Rusia, atau Turki.
Setelah beberapa lamanya tidak ada juga yang melamar, barulah negara-negara di luar Eropa bisa menempati lowongan tersebut.
Yah, itulah aturan aturan yang dibuat kesepakatan Uni Eropa. Setelah tidak ada kepastian perijinan, barulah saya memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Pulang dengan kekalahan, perasaan itulah yang saya rasakan saat itu.
Mungkin memang belum saatnya saya menpatkan kesempatan ini. Sebenarnya kerja sama peluang kerja perawat dari Indonesia ke Belanda ada sejak tahun 1970 an, karena minimnya tenaga perawat saat itu. Kemudian sekitar tahun 90-an ada proyek yang namanya IHTP (Internasional Healthcare Training Programme), dimana kombinasi antara belajar atau stage dan bekerja menjadi tujuan dari IHTP.
Sebagian besar perawat perawat dari Indonesia melalui jalur ini. Tetapi sayang program ini sekarang sudah tidak ada lagi. Jalur secara langsung user mencari perawat, jadi mereka secara langsung mencari perawat ke Indonesia. Sebagai contoh verpleeghuis di Breda, Belanda. Mereka sebagian besar mempunyai pasien lansia yang berasal dari Indonesia atau keturunan Indonesia Belanda atau Indo disebutnya.
Kadang kita sangat sulit mendapatkan info-info untuk yang jalur ini. Seiring dengan adanya krisis di Eropa, kesempatan bekerja di Belanda juga menjadi sulit, karena undang-undang yang ada. Jalur inisiatif pribadi menjadi alternatif yang bisa digunakan saat ini. Jadi kita secara langsung melamar secara online.
Tentu saja kunci dari semua itu adalah bahasa! Tidak lama setelah pulang, saya sempat bekerja di Rumah Sakit Perkebunahan. Arogansi dokter-dokter swasta, pasien yang sombong dan didukung gaji yang tidak memadai lengkaplah alasan saya untuk mengundurkan diri. Sedikit frustasi saat itu menjadi seorang perawat.
Mendengar dari seorang kawan di Bali tentang perusahaan yang bergerak di bidang pariwisata mencari seorang guide berbahasa Belanda, membuat keinginan berpaling dari dunia keperawatan, saya ragu.
Pengalaman yang benar benar baru sebaru-barunya. Ya, perawat menjadi seorang guide. Keliling Indonesia gratis, tidur di hotel, makan di restaurant yang mewah-mewah, mendapatkan tips yang cukup lumayan, menjadi rutinitas yang baru saat itu.
Setelah satu setengah tahun menjalani profesi yang jauh dari dunia keperawatan, toh rasa kangen kangen di dunia keperawatan membuat saya kembali lagi ke dunia perawat. Sampai pada akhirnya saya sekolah lagi S1 keperawatan dan menjadi dosen di STIKES Kendedes Malang.
Mengajar, membaca, dan mencari kesempatan kuliah lagi menjadi rutinitas saat menjadi dosen. Mencari-cari beasiswa ke Belanda terus saya lakukan untuk bisa kuliah lagi. Sampai pada akhirnya seorang teman lama di Belanda memberi tahu bahwa ada user secara langsung dari Belanda untuk mencari perawat Indonesia, dengan syarat sudah bisa berbahasa Belanda.
Tentu suatu kesempatan yang tidak akan saya lewatkan begitu saja, walau dengan sangat berat hati harus berpisah sementara dengan istri tercinta.
Tes wawancara dan tulis berbahasa Belanda Alhamdulillah bisa saya lalui. Ternyata syarat kemampuan bahasa Belanda yang lebih menjadi tuntutan yang berat saat itu, dan akhirnya harus mengikuti kursus extra lagi bahasa belanda di Erasmus huis kedutaan Belanda di Jakarta.
Kuliah sambil bekerja, misi saya untuk kedua kalinya saya ke belanda pada tahun 2010. Bekerja di Rumah perawatan (Verpleeghuis).
Banyak yang bilang juga, kok kerjanya di merawat lansia? Memang bisa dibilang sebagian besar perawat Indonesia bekerja di Perawatan Lansia. Tentu istilah “panti jompo” sangatlah berbeda dengan panti jompo yang ada di Indonesia.
Angka usia lansia menjadi masalah tersendiri di negara-negara maju seperti Eropa ataupun Jepang. Mobilitas yang tinggi untuk kaum muda dan meningkatnya angka ketergantungan para lansia, membuat verpleeghuis atau rumah perawatan menjadi berkembang. Mungkin saja di Indonesia dengan bertambahnya waktu dan meningkatnya kemakmuran, akan dibutuhkan rumah- rumah perawatan untuk para lansia.
Salah satu mimpi saya juga bisa membangun rumah perawatan lansia, siapa mau join?
Diterima kuliah master keperawatan di universitas Utrecht menjadi kebanggaan tersendiri bagi saya, tetapi begitu mengetahui biayanya, membuat mundur seribu langkah. Universitas – universitas Belanda menggunakan sistem yang sangat mudah untuk orang-orang berpaspor Uni Eropa. Sedangkan orang yang mempunyai paspor di luar Eropa seperti saya, sama sekali tidak mendapatkan subsidi, kecuali full beasiswa.
Sempat sangat kecewa dengan tingginya biaya kuliah master keperawatan ini, sekitar 19.000 euro selama master. Kalo 1 euro Rp 12. 000,- berarti saya harus membayar sekitar 230-an juta, belum biaya buku segala macamnya.
Cari- cari info akhirnya saya mendaftarkan kuliah di Belgia, Universitas Antwerpen tepatnya. Lain halnya dengan Belanda, Belgia termasuk negara Eropa yang murah untuk bisa kuliah S2, tetapi proses perkuliahnnya lebih ketat dan lebih sulit dari Belanda (yang saya dengar).
Tentu saja ujian bahasa menjadi terberat bagi saya, walaupun bisa berbahasa Belanda tetapi untuk ukuran master menjadi kendala tersendiri. Belgia memang sama berbahasa Belanda, tetapi bahasa Belanda mereka layaknya bahasa Indonesia antara Indonesia dan Malaysia.
Begitu senangnya akhirnya saya diterima juga masuk di Universitas kenamaan di Antwerpen. Bagi teman teman yang kepingin melanjutkan kuliah di Eropa dengan biaya terjangkau, Belgia atau Jerman merupakan negara yang tepat.
Masuklah pada masa orientasi di universiats Antwerpen. Satu-satunya orang asia membuat perasaan bangga dan juga sekaligus agak terkucil.
Ketika nama saya disebut semua pada menoleh, nama yang asing mungkin bagi mereka. Ada yang bilang saya dari Cina, Korea, ataupun Jepang. Sedih juga tidak ada yang menebak saya dari Indonesia.
Apakah negara kita memang belum layak diperhitungkan ya?
Seiring berjalannya waktu, sekolah ini tidak semudah yang saya bayangkan, butuh extra kerja keras yang benar benar extra karena perbedaan bahasa. Tentu saja saya tidak mau menyerah begitu saja. Tetapi kalau memang istilahnya mentok, pengalaman ini merupakan pengalaman yang sangat berharga.
Profesi perawat banyak mengantarkan banyak teman- teman bisa ke mana saja, yang belum tentu dimiliki oleh profesi yang lain.
Jiwa wirausaha yang sekarang banyak berkembang di darah para perawat, khususnya temen-temen di INT membuat saya membuka mata bahwa perawat bukanlah katak dalam tempurung. Bahkan, nurses bisa juga menjadi seganas singa, yang bisa merajai hutan.
Jujur, saya juga banyak terinspirasi oleh teman-teman INT. Setelah pulang lagi ke Indonesia, tetap mengajar dan berwirausaha adalah cita cita saya selanjutnya.(Yusuf Wibisono).
Tulisan Yusuf Wibisono, merupakan salah satu karya dari sekian tulisan yang tergabung dalam "proyek menulis buku bersama Perawat" digagas oleh Syaifoel hardy, Ceo and Founder Indonesian Nursing Trainers (INT).
Saya tidak habis pikir gimana caranya Bapak Syaifoel Hardy begitu produktifnya menulis.Biasanya ide akan datang saat dead line sudah diambang pintu Sebuah kebiasaan jelek yang sudah mengakar.
Minus 4 derajat celcius, cuaca yang sangat dingin dan turunnya salju menemani saya memulai menulis artikel ini. Ya,hari ini pertama turun salju untuk musim dingin di kota Den Haag Belanda. Di saat di Indonesia rata-rata suhu 32 derajat celcius disini minus 4. Perbandingan yang sangat extrem.
Topik pembicaraan yang sangat umum di Belanda “cuaca”. Keluhan dinginnya cuaca menjadi makanan sehari hari. Sedangkan keluhan panas menjadi topik face book untuk teman teman di Indonesia. Itulah manusia...tempatnya berkeluh kesah. Disaat orang belanda berlomba lomba kepengen kulitnya coklat, di Indonesia perang iklan produk pemutih wajah. Aneh memang yang namanya manusia.
Masih terlintas kemaren saat visite dokter. Perbandingan yang bisa dikatakan mencolok hubungan antara perawat dan dokter antara di Indonesia dan Belanda. Begitu profesionalnya hubungan di sini, memang perawat yang 24 jam bersama pasien tentunya lebih tahu daripada dokternya.
Tidak ada istilahnya gila hormat, semua menjalankan profesinya, dan saling berkolaborasi. Bahkan kita bisa memanggil namanya di sini, tidak perlu dengan panggilan “dok”. Kedisiplinan dan kerja keras juga menjadi modal yang sangat diperlukan untuk bisa bekerja di eropa.
Tidak ada kata leha-leha, tidak ada “jam tidur” saat dinas malam, tidak ada jam karet. Full stress kadang sering kita rasakan. Kedisiplinan yang keras ini membawa dampak positif.
Sebelum cerita banyak mengenai pengalaman di Belanda, saya akan flashback tentang pengalaman- pengalaman, sampai saat ini.
Think big if you want to be big!
Moto iklan rokok ini sangat menancap di otakku saat kuliah akper dulu, sampai saat ini. Moto ini seakan menjadi penggerak bagi saya, untuk bisa bermimpi menjadi apa saja yang saya inginkan.Semua bisa berawal dari mimpi, tetapi ini juga menjadi guyonan salah satu teman, untuk bisa bermimpi, kita harus tidur dulu, makanya banyak-banyak lah tidur, untuk bisa bermimpi!
Saat menghadapi menghadapi masa masa semester akhir,beberapa tahun lalu, saya menuliskan apa yang akan saya cita citakan selepas kuliah akper Depkes Malang.
Sederetan angan- angan telah saya tulis : menjadi perawat di luar negeri, pengen sekolah setinggi tingginya, menjadi PNS, menjadi dosen, menjadi pengusaha.
Tidak tahu mana yang akan saya capai, kalau bisa lebih dari satu akan menjadi kenyataan, pikir saya saat itu.
Layaknya mahasiswa yang baru tamat, saya menyebarkan surat lamaran kerja ke beberapa rumah sakit sekitar Jawa Timur.
Tidak lama setelah itu, ada panggilan wawancara di salah satu rumah sakit Islam swasta di Banyuwangi. Itulah pertama kali saya mendapat surat panggilan kerja. Was- was dan tentu saja “spanneng” kata orang Jawa (ternyata kata spanneng ini berasal dari bahasa Belanda “spannend”) yang berarti tegang.
Cerdas juga orang jawa dahulu.Dari hasil tes tulis saya dinyatakan lulus, tetapi hasil wawancara dinyatakan tidak lulus. Wawancara yang ternyata membuat saya gagal saat itu adalah…mereka bertanya tipe pemimpin yang saya idamkan, sesuai dengan Hadist Nabi yang pernah saya baca…jujur, adil, dan segala macamnya, termasuk salah satunya adalah laki-laki.
Ternyata jawaban ini yang membuat saya tidak bisa diterima, karena yang mewawancarai saat itu adalah perempuan dan dia adalah direktur di rumah sakit tersebut. Dan satu lagi, dia bertanya kenapa saya memakai baju warna orange, saya bilang karena saya suka warna yang mencolok, yang bisa diartikan dengan berani.
Semakin lengkaplah alasan saya tidak diterima di rumah sakit tersebut, karena rumah sakit tersebut butuh “perawat patuh”.
Sambil menunggu panggilan yang lain, teman sekelas Akper saya dulu menelfon untuk mengajak kerja di luar negeri. Mendengar ajakan ke negara Eropa membuat saya sangat antusias untuk pergi kesana.
Akhirnya saya menginjakan kaki ke ibukota Jakarta pertama kalinya untuk mengikuti pelatihan bahasa.
Mempelajari bahasa Belanda bisa dibilang sangat susah. Dengan semangat tinggi saya mempelajarinya dari pagi sampai malam. Ada perasaan senang juga mempelajari bahasa yang benar benar baru untuk kita pelajari.
Dalam waktu sekitar 4 bulanan secara intensif, kita mulai bisa sedikit ber-ba-bi-bu dalam bahasa Belanda.
Ada sedikit pertanyaan di benak saat itu. Mengapa kita belajar bahasa Inggris yang mulai SD kita pelajari sampai setingkat kuliah tetep aja bahasa inggris kita bisa dibilang gitu-gitu aja.
Pasti ada yang salah dengan metode pembelajaran yang salah.Padahal bisa dibilang bahasa inggris merupakan salah satu kunci membuka pintu global.
Semoga ada metode yang benar benar membuat gampang berbahasa inggris untuk bangsa ini…Amin.
Kebimbangan mulai saya rasakan saat tidak ada kepastian untuk berangkat ke Belanda. Tentu saja pelatihan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit, apalagi sampai saat itu masih menggantungkan uang saku.
Bahkan pernah di saat Bulan Puasa saking tidak adanya uang lagi saya sahur dengan mie instan dan berbuka dengan mie instan lagi.
Alhamdulillah masih bisa makan. Saat liburan akhir pekan saya sempatkan jalan-jalan bersama teman ke Universitas kebanggaan Indonesia , UI. Di papan pengumuman Fakultas Kesehatan Masyarakat, terdapat lowongan pekerjaan D3 keperawatan untuk bekerja di salah satu perusahaan asuransi swasta milik Jerman Allianz.
Sempat berfikir sejenak, untuk apa ya kira-kira seorang perawat dibutuhkan bekerja di asuransi...karena saat itu tidak ada pandangan sama sekali untuk bisa masuk di perusahaan asuransi. Salah satu syaratnya adalah bahasa Inngris dan bisa komputer.
Bismillah, dengan penuh keyakinan saya mengirimkan surat lamaran ke perusahaan asuransi tersebut. Seminggu setelahnya saya mendapat panggilan wawancara dan tes tulis.
Perawat juga bisa berdasi, itulah terlintas dibenak saya saat itu. Ya, dengan pedenya saya mulai bekerja diperusahaan asuransi ini. Gedung bertingkat, penuh dengan sliweran orang orang yang harum dengan parfum mahal, di sekitar kawasan Sudirman Jakarta. Tidak terbayang pengalaman pertama saya bekerja setelah tamat AKPER. Ternyata perawat itu jangkauan kerjanya sangat banyak sekali.
Sekitar seminggu saya mendapatkan training apa yang saya lakukan di perusahaan ini. Ternyata sangat berurusan dengan administrasi. Kita istilahnya mengedit setiap klaim yang masuk diperusahaan tersebut. Misalnya ada tagihan asuransi, kita memeriksa apakah obat obatan atau tindakan yang ditagihkan tersebut sesuai dengan penyakitnya. Kalau tidak sesuai kita akan menolak klaim tersebut.
Gaji yang ditawarkan di perusahaan disini juga bisa dikatakan tinggi dengan gaji yang diterima sebagai perawat pelaksana. Jadi teman teman perawat yang ingin mencoba “dunia lain”selain di pelayanan, bisa melamar ke perusahaan arusansi yang mempunyai asuransi kesehatannya.
Selama menunggu kabar dari Belanda saya bekerja di perusahaan asuransi tersebut. Menunggu dan menunggu sampai hampir dua tahun lamanya. Akhirnya ada kabar baik dari pihak Belanda. Agak berbeda dengan program pertama yang ditawarkan, ini semacam program pertukaran budaya dan bahasa, dengan tinggal dirumah salah satu keluarga di Belanda. Program Aupair namanya. Dengan alasan satu tahun belajar bahasa, nanti akan ditempatkan di Rumah sakit atau rumah perawatan lansia (Verpleeghuis).
Program apapun itu saya berharap bisa berangkat.Tepatnya Januari 2004 saya akhirnya bisa berangkat juga di Belanda. Pengalaman ini sebenarnya pengalaman yang sangat jarang saya ceritakan kepada teman teman. Yang penting mereka tahu saya ada di Belanda. Tapi ini juga merupakan bagian dari perjalanan hidup saya sebagai perawat.
Saya tinggal di rumah salah satu famili Belanda. Perasaan syok segala macam ada di benak saya saat itu.
Dengan bahasa Belanda yang terbata bata saya mulai ngobrol dengan mereka. Pertukaran budaya dan bahasa dan juga “ngemong”anak orang belanda. Itulah sebenarnya program aupair. Karena anak anak mereka sudah agak besar, saya lebih senang mengerjakan pekerjaan rumahan. Menyapu halaman, menyetrika dan membantu anak-anak membuat PR menjadi runititas saya sehari –hari. Sempat ada perasaan menangis dalam hati ini ketika suatu saat musim dingin, cuaca minus saya harus menyapu halaman. Think a big if u want to be big selalu ada di pikiran saya saat itu!
Hampir setahun saya menjadi aupair. Beberpa bulan saya juga stage di verpleeghuis. Selama itu juga saya mengajukan lamaran ke beberapa rumah sakit dan verpleeghuis. Beberapa instansi sudah menerima saya bekerja disana, tetapi kendala surat perijinan bekerja di Belanda sangat sulit sampai sekarang juga. Surat perijinan untuk bekerja di Eropa sekarang ini sangatlah sulit.
Suatu lembaga di Eropa memprioritaskan orang orang Eropa untuk bekerja di instansinya. Jadi jika ada rumah sakit, atau instansi kesehatan menginginkan perawat dari Indonesia dia harus melalui banyak prosedur. Instansi tersebut harus menaruh lowongan pekerjaan di Koran, majalah atau internet. Setelah tiga bulan dipublikasikan tidak ada warga Belanda yang melamar, mereka harus memperluas pengumuman lowongan tersebut di seluruh Eropa.
Tidak semua negara-negara Eropa adalah Negara makmur, banyak juga tenaga Eropa terutama Eropa Timur bekerja di Belanda, seperti dari Polandia, Rusia, atau Turki.
Setelah beberapa lamanya tidak ada juga yang melamar, barulah negara-negara di luar Eropa bisa menempati lowongan tersebut.
Yah, itulah aturan aturan yang dibuat kesepakatan Uni Eropa. Setelah tidak ada kepastian perijinan, barulah saya memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Pulang dengan kekalahan, perasaan itulah yang saya rasakan saat itu.
Mungkin memang belum saatnya saya menpatkan kesempatan ini. Sebenarnya kerja sama peluang kerja perawat dari Indonesia ke Belanda ada sejak tahun 1970 an, karena minimnya tenaga perawat saat itu. Kemudian sekitar tahun 90-an ada proyek yang namanya IHTP (Internasional Healthcare Training Programme), dimana kombinasi antara belajar atau stage dan bekerja menjadi tujuan dari IHTP.
Sebagian besar perawat perawat dari Indonesia melalui jalur ini. Tetapi sayang program ini sekarang sudah tidak ada lagi. Jalur secara langsung user mencari perawat, jadi mereka secara langsung mencari perawat ke Indonesia. Sebagai contoh verpleeghuis di Breda, Belanda. Mereka sebagian besar mempunyai pasien lansia yang berasal dari Indonesia atau keturunan Indonesia Belanda atau Indo disebutnya.
Kadang kita sangat sulit mendapatkan info-info untuk yang jalur ini. Seiring dengan adanya krisis di Eropa, kesempatan bekerja di Belanda juga menjadi sulit, karena undang-undang yang ada. Jalur inisiatif pribadi menjadi alternatif yang bisa digunakan saat ini. Jadi kita secara langsung melamar secara online.
Tentu saja kunci dari semua itu adalah bahasa! Tidak lama setelah pulang, saya sempat bekerja di Rumah Sakit Perkebunahan. Arogansi dokter-dokter swasta, pasien yang sombong dan didukung gaji yang tidak memadai lengkaplah alasan saya untuk mengundurkan diri. Sedikit frustasi saat itu menjadi seorang perawat.
Mendengar dari seorang kawan di Bali tentang perusahaan yang bergerak di bidang pariwisata mencari seorang guide berbahasa Belanda, membuat keinginan berpaling dari dunia keperawatan, saya ragu.
Pengalaman yang benar benar baru sebaru-barunya. Ya, perawat menjadi seorang guide. Keliling Indonesia gratis, tidur di hotel, makan di restaurant yang mewah-mewah, mendapatkan tips yang cukup lumayan, menjadi rutinitas yang baru saat itu.
Setelah satu setengah tahun menjalani profesi yang jauh dari dunia keperawatan, toh rasa kangen kangen di dunia keperawatan membuat saya kembali lagi ke dunia perawat. Sampai pada akhirnya saya sekolah lagi S1 keperawatan dan menjadi dosen di STIKES Kendedes Malang.
Mengajar, membaca, dan mencari kesempatan kuliah lagi menjadi rutinitas saat menjadi dosen. Mencari-cari beasiswa ke Belanda terus saya lakukan untuk bisa kuliah lagi. Sampai pada akhirnya seorang teman lama di Belanda memberi tahu bahwa ada user secara langsung dari Belanda untuk mencari perawat Indonesia, dengan syarat sudah bisa berbahasa Belanda.
Tentu suatu kesempatan yang tidak akan saya lewatkan begitu saja, walau dengan sangat berat hati harus berpisah sementara dengan istri tercinta.
Tes wawancara dan tulis berbahasa Belanda Alhamdulillah bisa saya lalui. Ternyata syarat kemampuan bahasa Belanda yang lebih menjadi tuntutan yang berat saat itu, dan akhirnya harus mengikuti kursus extra lagi bahasa belanda di Erasmus huis kedutaan Belanda di Jakarta.
Kuliah sambil bekerja, misi saya untuk kedua kalinya saya ke belanda pada tahun 2010. Bekerja di Rumah perawatan (Verpleeghuis).
Banyak yang bilang juga, kok kerjanya di merawat lansia? Memang bisa dibilang sebagian besar perawat Indonesia bekerja di Perawatan Lansia. Tentu istilah “panti jompo” sangatlah berbeda dengan panti jompo yang ada di Indonesia.
Angka usia lansia menjadi masalah tersendiri di negara-negara maju seperti Eropa ataupun Jepang. Mobilitas yang tinggi untuk kaum muda dan meningkatnya angka ketergantungan para lansia, membuat verpleeghuis atau rumah perawatan menjadi berkembang. Mungkin saja di Indonesia dengan bertambahnya waktu dan meningkatnya kemakmuran, akan dibutuhkan rumah- rumah perawatan untuk para lansia.
Salah satu mimpi saya juga bisa membangun rumah perawatan lansia, siapa mau join?
Diterima kuliah master keperawatan di universitas Utrecht menjadi kebanggaan tersendiri bagi saya, tetapi begitu mengetahui biayanya, membuat mundur seribu langkah. Universitas – universitas Belanda menggunakan sistem yang sangat mudah untuk orang-orang berpaspor Uni Eropa. Sedangkan orang yang mempunyai paspor di luar Eropa seperti saya, sama sekali tidak mendapatkan subsidi, kecuali full beasiswa.
Sempat sangat kecewa dengan tingginya biaya kuliah master keperawatan ini, sekitar 19.000 euro selama master. Kalo 1 euro Rp 12. 000,- berarti saya harus membayar sekitar 230-an juta, belum biaya buku segala macamnya.
Cari- cari info akhirnya saya mendaftarkan kuliah di Belgia, Universitas Antwerpen tepatnya. Lain halnya dengan Belanda, Belgia termasuk negara Eropa yang murah untuk bisa kuliah S2, tetapi proses perkuliahnnya lebih ketat dan lebih sulit dari Belanda (yang saya dengar).
Tentu saja ujian bahasa menjadi terberat bagi saya, walaupun bisa berbahasa Belanda tetapi untuk ukuran master menjadi kendala tersendiri. Belgia memang sama berbahasa Belanda, tetapi bahasa Belanda mereka layaknya bahasa Indonesia antara Indonesia dan Malaysia.
Begitu senangnya akhirnya saya diterima juga masuk di Universitas kenamaan di Antwerpen. Bagi teman teman yang kepingin melanjutkan kuliah di Eropa dengan biaya terjangkau, Belgia atau Jerman merupakan negara yang tepat.
Masuklah pada masa orientasi di universiats Antwerpen. Satu-satunya orang asia membuat perasaan bangga dan juga sekaligus agak terkucil.
Ketika nama saya disebut semua pada menoleh, nama yang asing mungkin bagi mereka. Ada yang bilang saya dari Cina, Korea, ataupun Jepang. Sedih juga tidak ada yang menebak saya dari Indonesia.
Apakah negara kita memang belum layak diperhitungkan ya?
Seiring berjalannya waktu, sekolah ini tidak semudah yang saya bayangkan, butuh extra kerja keras yang benar benar extra karena perbedaan bahasa. Tentu saja saya tidak mau menyerah begitu saja. Tetapi kalau memang istilahnya mentok, pengalaman ini merupakan pengalaman yang sangat berharga.
Profesi perawat banyak mengantarkan banyak teman- teman bisa ke mana saja, yang belum tentu dimiliki oleh profesi yang lain.
Jiwa wirausaha yang sekarang banyak berkembang di darah para perawat, khususnya temen-temen di INT membuat saya membuka mata bahwa perawat bukanlah katak dalam tempurung. Bahkan, nurses bisa juga menjadi seganas singa, yang bisa merajai hutan.
Jujur, saya juga banyak terinspirasi oleh teman-teman INT. Setelah pulang lagi ke Indonesia, tetap mengajar dan berwirausaha adalah cita cita saya selanjutnya.(Yusuf Wibisono).
Baca juga : Mau tau tentang Keperawatan di Belanda?