Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengenal Triase Pasien di Instalasi Gawat Darurat

Medianers ~ Pada suatu malam, Instalasi Gawat Darurat (IGD) terlihat ramai, ambulance meraung-raung membawa ibu hamil dari Puskesmas, dan dengan sigap dua orang petugas IGD menyambut di pintu masuk.

Lalu, datang pula seorang laki-laki berusia 25 tahun yang diantar keluarga dengan mobil pribadi, ia masuk rumah sakit sekira pukul 23.00 wib bisa berjalan sendiri dengan keluhan demam, batuk, meriang dan bersin- bersin.

Saat dirumah sakit, tepatnya diruangan IGD, pasien tersebut memarahi perawat karena pasien merasa lambat mendapatkan pelayanan medis, padahal sudah menunggu kurang lebih selama 30 menit.

Puncak amarah tercipta ketika perawat lebih mendahulukan pasien yang baru datang dengan keluhan nyeri dada, terlihat kesakitan, nafas sesak, dan mengalami tekanan darah tinggi, yaitu 180/90 mmHg.

Disaat pasien masih marah-marah. Perawat berusaha menjelaskan bahwa, pasien yang masuk ke IGD akan diprioritaskan berdasarkan tingkat kegawatannya dan kondisi yang mengancam nyawa.

Namun, keluarga tidak bisa menerima, sebab merasa dia yang datang duluan, dibanding beberapa pasien lainnya, sehingga keluarga meluapkan amarahnya karena merasa diabaikan.

Situasi demikian kerap terjadi di IGD, dan perawat jadi sasaran amukan, padahal dalam standar prosedur operasional (SPO) triase adalah memilah pasien berdasarkan tingkat kegawatannya.

Dan, proses triase pasien dimaknai sebagai proses seleksi pasien di instalasi gawat darurat agar tindakan berikutnya atau tindakan selanjutnya sesuai dengan kondisi pasien.

Manakala mengancam nyawa, maka pasien didahulukan pertolonggannya, atau bisa menyebabkan kecacatan jika lambat penanganan, maka pasien tersebut termasuk prioritas untuk ditolong duluan, meskipun telat datang.

Klasifikasi Pasien Triase di Instalasi Gawat Darurat


Diadopsi dari situs hellosehat.com bahwa, sistem triase rumah sakit menyortir pasien berdasarkan kondisi pasien saat masuk ruangan Triase Instalasi Gawat Darurat dengan memberikan kode warna untuk pasien, mulai dari merah, kuning, hijau, putih dan hitam.

Kode warna merah diberikan kepada pasien yang jika tidak diberikan penanganan dengan cepat maka pasien pasti akan meninggal, dengan syarat pasien tersebut masih memiliki kemungkinan untuk dapat hidup.

Contohnya seperti pasien dengan serangan jantung, trauma kepala berat dengan kesadaran menurun drastis, dan perdarahan hebat pada kehamilan.

Warna kuning, merupakan kode warna yang diberikan kepada pasien memerlukan perawatan segera, namun masih dapat ditunda karena ia masih dalam kondisi stabil.

Contohnya seperti pasien dengan patah tulang pada kaki atau tangan , patah tulang paha atau lengan, dan luka bakar.

Kode warna hijau diberikan kepada pasien yang memerlukan perawatan namun masih dapat ditunda.

Ketika pasien lain yang dalam keadaan gawat sudah selesai ditangani, maka pasien dengan kode warna hijau akan ditangani.

Contohnya seperti pasien dengan batuk, bersin seperti ilustrasi kasus di atas, atau mengalami luka bakar minimal, atau luka ringan.

Putih: Kode warna putih diberikan kepada pasien hanya dengan cedera ringan dimana tidak diperlukan penanganan segera oleh perawat, maupun resep emergency dari dokter.

Selanjutnya, kode warna hitam diberikan kepada pasien yang setelah diperiksa tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan.

Misalnya, mereka yang masih hidup namun mengalami cedera yang amat parah sehingga meskipun segera ditangani, pasien tetap akan meninggal.(Berbagai sumber: Anton Wijaya/ Ilustrasi pixabay.com)