Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Suntik Mati Saya (Bagian 1)

Cerbung, Medianers ~ Usai sudah Anita menikmati akhir pekan. Waktu liburan hanya digunakan untuk melepaskan penat, dan membersihkan pakaian untuk persiapan dinas berikutnya. Pekerjaan di rumah sakit sebagai Perawat sangat dia nikmati. Menurutnya, setiap menjalani tugas ada saja hal menarik yang ditemukan. Wanita berhijab, menyukai pakaian gamis, tinggi 170 cm dan memiliki berat badan 65 kg itu, akan berusia 25 tahun. Dia mengaku masih lajang, dan berharap mendapat pasangan satu profesi dengannya, agar bisa memahami pekerjaannya di rumah sakit yang begitu kompleks dengan segala persoalan.

Anita sudah 2 tahun bekerja di rumah sakit swasta di Kota Perlintasan, bagian barat, pulau Sumatera. Kota itu hampir sepanjang usianya ia tempati. Lahir, sekolah, tumbuh besar, hingga bekerja di kota yang sama. Di tempat kerja, dia terkenal loyal kepada pasien. Pernah mendapat julukan sebagai perawat tersabar di dunia dari sejawatnya yang sama-sama bekerja satu ruangan di rumah sakit. Dua tahun bekerja, ada satu hal nan membuat Anita mendapat tantangan, yaitu ketika merawat ibu Hanny, berumur 50 tahun, seorang pengusaha kaya raya.

"Selamat pagi, Ners Anita. Ibu Hanny, pasien yang kamu rawat di kamar 9 meminta pulang paksa pagi ini," kata Sinta, perawat jaga malam mengabarkan melalui telepon. Ketika mendapat kabar demikian, Anita sedang bersiap berangkat dinas pagi, sangat terkejut mendengarnya. Anita meminta kepada sejawatnya itu, agar Hanny dicegah dulu pulang, hingga dia bisa bertemu. "Jangan berikan surat pulang paksa. Tunggu saya datang," pinta Anita kepada Sinta.

Di atas motor, menuju rumah sakit, Anita teringat ibunya yang telah wafat 5 tahun lalu. Ketika itu, Anita baru memulai kuliah, semester 1 di Akademi Keperawatan (Akper). Ibunya meninggal karena penyakit gula kronis, dan alasan dia masuk kuliah di jurusan keperawatan adalah untuk merawat ibunya. Namun, takdir memisahkan Anita dan ibunya yang belum sempat dia rawat dengan cara Asuhan Keperawatan sesuai cita-citanya. Kejadian serupa tidak ingin terulang, Anita ingin pasien yang dirawatnya mendapatkan perawatan terbaik darinya. Sebagai bentuk baktinya kepada almarhum ibunya.

Tidak membutuhkan waktu lama, Anita sampai di ruangan Kenanga. Dia melihat Hanny sedang muram. Anita sedikit gugup, berusaha mendekati Hanny. "Semangat pagi buk," sapa Anita sembari tersenyum mendekati. Hanny, hanya diam. Menunjukan sikap pupus harapan. Tidak lagi bersemangat melanjutkan kehidupan. Anita berusaha menghangatkan suasana, dia menyentuh punggung tangan Hanny. "Apakah tidurnya nyenyak malam tadi buk," tanya Anita. Hanny tidak menjawab pertanyaan Anita.

suntik mati medianers
Jarum suntik / ilustrasi by Canva.

Hanny hanya mengatakan ingin pulang, tidak ingin lagi melanjutkan pengobatan. "Saya pagi ini ingin pulang. Saya sudah capek menjalani perawatan disini," katanya. " Kenapa buk, program pengobatan ibu belum selesai. Gula darah ibu masih tinggi. Hasil pemeriksaan laboratorium terakhir masih menunjukan 300 mg/dL. Jika kadar gula dalam darah ibu sudah di bawah 200 mg/dL, ibu kemungkinan dianjurkan operasi pengangkatan jaringan mati diujung- ujung jari kaki ibu, oleh dokter bedah. Jadi ibu masih dalam program pengobatan," jelas Anita.

"Beri saya suntik mati saja, Ners. Agar penyakit ini hilang. Kamu lihatlah, tidak ada lagi yang membutuhkan kehadiran saya. Anak lelaki saya satu-satunya entah kemana ? Tidak ada niat sedikitpun menemani disini. Kamu tidak tahu kah, bahwa suami saya sampai hari ini tidak ada kabar, mungkin bersenang-senang dengan istri barunya. Tidak ada lagi yang membutuhkan saya Ners. Kaki saya bau busuk. Mungkin, sebentar lagi akan dipotong dokter," katanya sambil tersedu-sedan. Seketika ruangan Kenanga menjadi hening. Dan, Anita menghela nafas panjang.

Hanny adalah seorang pengusaha rumah makan nan terbilang sukses di Kota kelahirannya, dia melanjutkan usaha dari orang tuanya yang telah meninggal. Hanny anak tunggal, dan memiliki satu anak laki-laki dari pernikahannya dengan Bambang, (55 tahun). Bambang, sosok lelaki beruntung telah mempersunting Hanny. Beliau pemuda pengangguran bermodalkan tampang gagah dan rayuan gombal mematikan. Sejak menikah dengan Hanny, Bambang diajak sama-sama mengurus beberapa restoran milik bapak Hanny yang tersebar di beberapa kota di pulau Sumatera.

Semasa sehat, Hanny terbilang sibuk, dia memiliki banyak kegiatan di luar rumah. Suami dan anaknya sering ditinggal. Anaknya bernama Sultan, lebih banyak berinteraksi dengan asisten rumah tangga. Mereka jarang berkumpul dan bersenda gurau bersama di rumah, layaknya keluarga bahagia. Sebab, selain mengurus puluhan restoran, Hanny juga melebarkan usaha, dengan membuka toko di beberapa kota di pulau jawa. Toko yang menyediakan cincin, kalung, dan gelang dari emas, berlian dan sejenisnya.

Sultan, anak semata wayangnya, sering berkomunikasi lewat gawai saja dengan Hanny, demikian pula dengan bapaknya, Bambang. Bersua, dengan orang tua bisa 1 kali saja dalam 1 bulan. Sultan kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta selama 7 tahun, tapi belum diwisuda. Dia punya banyak teman, dan memiliki komunitas mobil. Sultan sibuk dengan hobby sebagai kolektor mobil baru dan antik. Saban hari, dia menghabiskan waktu di tempat hiburan dan cafe bersama teman wanita, maupun teman kuliahnya.

Dirunut dari riwayat kesehatan, Hanny mengalami penyakit gula bukan dari keturunan. Gula dalam darah Hanny tidak terkendali disebabkan oleh gaya hidup. Sebetulnya bisa diatasi dengan pengobatan dan perawatan yang tepat. Manakala Hanny patuh dan bersemangat untuk sembuh. " Saya sangat memahami apa yang ibu rasakan. Saya, dan kami petugas ruangan Kenanga ada untuk ibu. Ibu bisa sembuh, ibu bisa kembali sehat dan cantik seperti sedia kala. Asalkan ibu patuh terhadap program perawatan dan pengobatan, " saran Anita. Hanny hanya menggeleng-gelengkan kepala mendengar saran dari Anita. Tatapan matanya kosong. Seakan sarat muatan pikiran di kepala.

Anita merasa kewalahan. Dia berpikir keras, bagaimana cara membantu Hanny yang begitu kaku dan keras pendirian. Tidak berapa lama, pintu kamar terdengar digedor seseorang. " Silahkan masuk," ajak Anita. Dibalik pintu, berdiri Sultan dengan aroma parfum semerbak, sempat menghilangkan aroma busuk lahir dari kaki ibunya. "Betul mama ingin pulang," tanya Sultan tergesa-gesa tanpa mengucapkan salam kepada ibunya. Lalu, Hanny menjawab ketus, " iya, mengapa kamu telat. Saya tidak betah lama-lama di rumah sakit ini," jawabnya.

Anita terdiam mendengar percakapan 2 orang ibu dan anak sedang berada dihadapannya. Anita berharap, Hanny menuntaskan pengobatan, tapi dia tidak berwenang melarang keputusan Hanny. Akhirnya, selembar surat ditandatangani oleh Hanny, bahwa ia pulang atas permintaan sendiri, tidak akan menuntut pihak rumah sakit jika suatu hal buruk terjadi pada dirinya di kemudian hari. Karena proses pengobatan belum selesai dan beliau pulang tidak atas izin dokter penanggung jawab.

Setelah Hanny pulang. Anita merasa bersalah, karena tidak mampu memberikan pelayanan terbaik kepada pasiennya. Berkelabat pertanyaan di benaknya tentang soft skill apa yang belum ia miliki, sehingga tidak mampu mencegah kepulangan Hanny. Anita bahkan merasa bersalah kepada almarhum ibunya. Anita juga takut kejadian buruk menimpa Hanny di rumah, seperti yang dialami ibunya dulu. Dia ingat betul, ibunya ketika dirawat di rumah sakit juga pulang sebelum program pengobatan selesai, karena keterbatasan biaya. Tidak lama setelah pulang dari rumah sakit, ibunya meninggal.

Hal serupa kemungkinan juga dialami Hanny, apa bila kadar gula darah tidak terkendali di rumah. Dan, luka di ujung jari kaki Hanny tidak mendapatkan perawatan luka, akan memicu kondisi kesehatan Hanny semakin memburuk. Banyak hal dikhawatirkan Anita. Dia hanya bisa membantu dengan doa, semoga Hanny tetap dalam perlindungan tuhan yang maha esa. Suasana kerja hari itu, tidak sehangat sebelumnya. Mood Anita anjlok. Entah kenapa, dia merasa peduli dengan Hanny.

Waktu berlalu, Anita tetap menjalani rutinitas seperti biasa. Selalu menyapa dan menyemangati tiap pasien yang sedang dirawatnya. Anita mulai melupakan Hanny, dan membuka lembaran baru bersama pasien-pasien baru masuk dengan berbagai keluhan dan penyakit yang sedang diderita. Di kamar 8 ada keluarga pasien sedang marah, karena WC mampet. Anita berusaha menenangkan dan meminta maaf pada keluarga pasien tersebut, atas ketidaknyamanan itu.

Satu minggu berselang, Sultan mulai khawatir akan kesehatan ibunya. Hanny terlihat pucat, lemas tak berdaya. Lima ujung jari kaki, hingga ke mata kaki terlihat berwarna hitam dan sembab. Punggung dan tumit kaki berlobang serta mengeluarkan cairan berwarna putih berbau busuk. Sultan tidak tahan aromanya nan bisa merontokkan rambut dalam lobang hidung. Dua orang perawat home care yang didatangkan merawat ke rumah telah menganjurkan agar Hanny melanjutkan pengobatan di rumah sakit. Namun, Hanny bersikukuh tidak ingin lagi dirawat di rumah sakit.

Kondisi demikian membuat Sultan panik. Terkadang, Sultan membiarkan ibunya terbaring sendirian di ranjang, sebagai bentuk protesnya. Perawat home care yang biasa datang tiap hari, pagi dan sore, juga tidak mau lagi mengunjungi Hanny. Sebab, mereka tidak bisa memberikan perawatan lanjut, semestinya harus dikerjakan di rumah sakit. Sultan bahkan marah dan mengancam ibunya, jika tidak mau diantar ke rumah sakit, maka Hanny akan ditinggalkan sendirian di rumah. " Jika mama tidak mau dirawat di rumah sakit, maka mulai hari ini mama akan saya tinggal sendirian," demikian ancaman Sultan.

Mendengar itu, butir- butir air meleleh dari sudut mata Hanny, tenggorokannya seakan tercekat. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak tau apa yang ingin disampaikan. Hanny hanya bisa menangis. Dia menarik diri, merasa hina, dan tidak lagi berguna dalam keluarga. Bahkan, ia merasakan harta dan kekayaan, termasuk anaknya tidak bisa lagi melindunginya. "Bapakmu kemana," tanya Hanny. " Dia telah mati," jawab Sultan. " Mati kenikmatan bersama istri mudanya," ulasnya.

Hanny benar- benar terpukul mendengar jawaban tersebut. Dia berusaha menyeka air mata yang terus berurai, hidung pun mulai berair. Dia terisak-isak, sembari mengatakan, " silahkan kamu pergi kemana saja nak. Tapi tolong bawa Anita kesini, perawat yang pernah merawat saya," pintanya. Tanpa pamit, Sultan langsung keluar dari kamar ibunya. Dan mencari tau keberadaan Anita.(Bersambung / Anton Wijaya)