Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pandangan Awam, Anak Akper Bisa Jadi Dokter

Pariaman, Medianers ~ "Sekolah dimana dik," tanya seorang bapak pada saya di atas angkot, semasa kuliah dulu. Kebetulan penampilan mahasiswa Akademi Keperawatan (Akper) beda dengan mahasiswa lainnya. Masih berpakaian seragam. Baju warna putih dan celana berwarna coklat.

"Saya kuliah di Akper pak," jawab saya." Oo..calon dokter ya," ulasnya. "Bukan pak! Saya calon Perawat," Seru saya. "Kan nanti juga bisa jadi dokter, kalau adik melanjutkan kuliah," sergah si bapak. "Nggak pak, walaupun saya melanjutkan kuliah, tetap jadi Perawat," argumen saya.

Bapak itu kelihatan bingung, lalu kami diam. Dan, saya juga sulit menjelaskan, karena situasi tidak memungkinkan.

Suatu hari, saat saya Praktek Klinik Keperawatan (PKK) di Rumah Sakit, saya mengaplikasikan teori pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien (pasien), serta melakukan pengkajian fisik, anamnesis dan intervensi Keperawatan.

Sering bolak-balik ke tempat tidur klien, sambil mencatat keluhan, serta data objektif yang dilihat dan didengar untuk membuat perencanaan, serta tindakan keperawatan apa yang harus dilakukan, jika diagnosa keperawatannya begini atau begitu? Berdasarkan data yang di dapat.

Disamping itu, saya membantu senior mengganti cairan infus klien, membantu menyuntikkan obat di bawah pengawasan, serta melakukan perawatan dasar, memandikan klien di atas tempat tidur. Semuanya di catat dalam buku harian, dan setiap akan pulang di paraf oleh perawat senior atau pembimbing, sebagai bukti apa yang di kerjakan mahasiswa perawat selama dinas.

Ada juga keluarga klien ucapkan terima kasih, setelah saya menolong, "terima kasih dokter muda," ucapnya. Lalu saya jawab,"sama-sama buk. Maaf saya bukan Dokter muda, tapi mahasiswa Perawat."

Lantas, ibu itu mengulas, "nanti kan juga bisa jadi dokter kalau melanjutkan sekolah," (sambil tersenyum). "Walaupun saya melanjutkan kuliah setinggi apapun, tetap jadi Perawat buk," jawab saya.

Ibu itu, bingung. Dan, saya mohon pamit pergi, berlalu mengerjakan tugas lainnya.
Yang paling unik, ada juga ibu-ibu mau menjodohkan anaknya dengan saya. Yah, penampilan saat praktek begitu menarik dan rapi, pakai seragam putih. Baju, celana putih, dan sepatu juga putih. Kelihatan selalu bersih dan menawan.

Pas si ibu berkata, "kapan pak dokter tamat sekolah." Saya langsung kecewa. Kecewa karena selalu di bilang dokter. Perawat tidak di kenal. Dengan lembut saya jawab, "maaf buk, saya mahasiswa Akper, nanti kalau tamat akan jadi Perawat. Bukan dokter." Ibu itu ngotot, "kan lama-lama juga bisa jadi dokter," ulasnya.

Hhm. Sempat saya berpikir, ada apa dengan profesi Perawat tidak dikenal. Maaf. Kalau ada komplain dari klien dan keluarga, pasti yang tersangka Perawat, itu kesan yang saya dapat saat praktek. Pas melakukan kebaikan, pasti di anggap dokter. Ibarat goreng telur mata sapi. Ayam yang bertelur. Sapi yang dapat nama. Mohon di abaikan, itu asumsi saya saja.

Hari berlalu, waktu terus berputar, saya mulai mengenal apa itu profesi Perawat. Tiap hari saya menemukan orang berbeda. Saya di tuntut dewasa, melebihi usia saya saat itu.

Klien dan keluarganya menganggap mahasiwa mampu mengatasi/ menjawab setiap keluhan yang ia sampaikan. Kadang ada pertanyaan di luar kemampuan saya menjawabnya. Saya tanya dulu pada senior dan baru saya jawab, agar tidak salah informasi.

Di lahan praktek, bukan teori saja yang harus dikuasai, banyak hal lain yang harus dipelajari. Karakter berbeda dan bermacam yang harus di hadapi, baik itu klien, keluarganya, maupun senior.

Disaat itulah mahasiswa keperawatan benar-benar merasa dibina, kadang, ada juga merasa dibinasakan, di genjot serba bisa, bahkan melakukan sesuatu diluar kompetensinya. Misal, membantu senior melipat kain Qaas, mengepel lantai dan membersihkan WC. Kebetulan, ini mungkin pengalaman saya saja, yang lain tidak.

Saat saya di doording oleh senior, tidak boleh pulang selama 2 hari, wajib dinas. Setiap bertemu, oknum senior tersebut, selalu marah-marah. Saya dan teman lainnya seperti diazab. Kejadian ini, berlangsung di bangsal bedah. Teman saya si Ria, pelupuk matanya, membiru kehitaman karena kurang tidur.

Saat kami makan bersama, ia menangis tersedu-sedan, ia ingin berhenti jadi mahasiswa Perawat. Tapi kami menguatkan hatinya, memberi ia semangat. Namun, sebenarnya dalam hati kecil saya, juga tidak sanggup untuk melanjutkan perkuliahan.

Paling pedih, saat saya diinterogasi dengan nada tinggi, " kenapa namamu Anton Wijaya," (saat perkenalan dengan senior Perawat). "Saya tidak tau buk, karena orang tua saya yang memberi nama," jawab saya gugup.

"Kok pakai wijaya-wijaya segala, kamu keturunan darah biru ya," hardiknya. "Aaa tidak buk," jawab saya. Lalu, dia geleng-geleng kepala. (sambil menunjuk), ia berkata, "kamu dan kalian semua, jangan sok-sok an disini ya ! baru mahasiswa Akper, gaya udah selangit. Tau nggak, sampai S3 pun kalian tetap perawat," tegasnya.

Saya dan lainnya hanya diam. Tidak membantah, juga tidak melawan. Juga tidak mempertanyakan apa alasannya marah-marah. Inilah pengalaman pertama saya dan kawan-kawan Angkatan 3 Akper Pemkab Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2003, di Rumah Sakit X.

Singkat cerita, masa praktek di Rumah Sakit selesai. Kami kembali ke kampus, di kampus saya dan teman-teman protes pada dosen untuk tidak lagi mengirim kami Praktek Klinik Keperawatan di Rumah Sakit X. Kami ingin praktek di Rumah sakit lain, dan kami menceritakan apa yang kami terima.

Alhamdulillah, dosen mendengarkan, dan seterusnya, adik tingkat saya tidak lagi praktek di Rumah Sakit X. Entah, mungkin sekarang sudah berubah, dan kembali kerjasama dengan Rumah Sakit tersebut.(*6/ Anton Wijaya)