Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kiat menumbuh-kembangkan budaya malu sejak dini

Sifat dasar paling primitif dimiliki manusia adalah membela diri, meskipun ia salah. Fakta membuktikan jika manusia jujur dan suka mengakui kesalahan maka tidak akan ada namanya penyelidikan dari aparat penegak hukum untuk membuktikan suatu kejadian atau peristiwa yang sengaja disembunyikan.

Dalam konteks kecil, jika seseorang bersalah kepada manusia, obat yang paling mujarab adalah meminta maaf. Jika bersalah kepada tuhan maka obatnya memohon diberi ampunan. Sebab tuhan maha pemberi ampun, juga maha pengasih dan penyayang.

Di jepang, masih terpelihara budaya malu, malu menutupi kesalahan, dan berani minta maaf. Sikap dan prilaku orang Jepang tercermin dari pemimpinnya yang berani mengakui kesalahan, baik kesalahan yang disengaja maupun tidak.

Yoshio Hachiro misalnya, ia Menteri Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang. Yoshio diprotes masyarakat karena ucapannya telah menyinggung masyarakat dan dianggap tidak mempunyai kepekaan terhadap apa yang dirasakan rakyat Jepang. Karena malu, Yoshio Hachiro minta maaf dan mengundurkan diri dari jabatannya.

Perdana Menteri Jepang, Yukio Hatoyama , juga mengundurkan diri (2010). Yukio Hatoyama merasa bersalah telah melanggar janjinya selama kampanye pemilu, yakni menutup pangkalan militer Amerika Serikat (AS) yang terletak di selatan Pulau Okinawa.

Janji itu tidak mampu ia realisasikan sehingga mengundang kemarahan publik dan ia ditinggal sekutu politiknya. Akhirnya, Yukio Hatoyama yang baru delapan bulan menjadi Perdana Menteri meminta maaf dan mengundurkan diri dari jabatannya.

Masih banyak rentetan nama tokoh publik di Jepang mengundurkan diri dari jabatannya, karena gagal dalam memimpin.

Bagaimana di Indonesia dan lingkungan sekitar?

Menjalani kehidupan di Indonesia, nyaris tiap hari kita melihat 'sandiwara' melalui pemberitaan tentang adu argumen, saling berdalih, saling serang dan saling tuduh. Tokoh publik di Indonesia banyak tersandung korupsi, hampir 100 persen mereka membela diri dan mempertahankan jabatan yang dimiliki, dengan berdalih, fitnah, azas praduga tak bersalah, dan macam-macam alasan. Akhirnya, penegak hukum mampu mengumpulkan cukup bukti, dan tersangka masuk ' kandang situmbin.'

Fenomena demikian, sering menghiasi layar kaca dan layar sentuh rakyat Indonesia. Sedikit banyak, mempengaruhi karakter asli orang indonesia yang permisif dan malu mengakui kesalahan atau kekurangan. Adakah pejabat publik di Indonesia atau pemimpin di lingkungan kita dengan gagah berani mengundurkan diri dari jabatannya karena telah gagal dalam memimpin? Kalaupun ada, persentasenya sangat sedikit. Karena budaya malu belum tumbuh dan berkembang baik di individu Indonesia di banding orang Jepang.

Menumbuh-kembangkan budaya malu sejak dini

Negara adalah kumpulan dari beberapa keluarga yang hidup dan tinggal di beberapa daerah. Unit paling kecil dalam negara adalah keluarga. Jika tiap-tiap keluarga di dalam suatu negara memiliki budaya malu, malu berbuat salah, malu korupsi, malu telah berbohong, maka akan tercermin pada kharakter pemimpin negara tersebut, karena ia tumbuh dan besar dalam keluarga dan lingkungan memiliki budaya malu, seperti halnya Jepang.

Untuk itu, sebelum merubah pemimpin, merubah lingkungan, apa lagi merubah dunia, maka terapkanlah dulu dalam diri sendiri dan dalam keluarga kecil anda, sebagaimana kutipan berjudul I Wanted To Change The World yang tertulis di pusara salah  seorang tokoh agama. Kutipannya Seperti gambar dibawah ini:
Sumber gambar : http://chillinaris.blogspot.co.id/
Kutipan dalam gambar tersebut, artinya kurang lebih seperti ini, sebagaimana yang penulis ambil dari link sumber gambar tersebut, begini terjemahannya:
"Ketika aku masih muda dan bebas berimajinasi tanpa batas, aku bermimpi mengubah dunia. Seiring dengan bertambahnya usia dan bijaksana, kutemukan dunia tidak akan berubah, karenanya kurubah cara pandangku dan memutuskan untuk mengubah hanya negaraku saja.Ketika usiaku semakin senja, dalam satu upaya putus asa terakhir, kutetapkan untuk mengubah hanya keluargaku saja, orang-orang terdekatku, tapi sayangnya mereka tidak menginginkan itu.Dan sekarang, saat aku berbaring di ranjangku, tiba-tiba aku tersadar: Jika aku terlebih dahulu mengubah diriku sendiri, maka aku akan memberi contoh dan itu mengubah keluargaku."
Penulis berkesimpulan dalam menumbuh-kembangkan budaya malu, dimulai dari diri sendiri dan keluarga. Jangan sungkan, minta maaf dan mengakui kesalahan pada istri/ suami dan anak-anak, jika anda telah melakukan kesalahan atau tidak menepati janji. Bersikap jujurlah pada keluarga anda, jika anda tidak ingin di bohongi.

Ajarkan anak anda mengucapkan kata maaf, dengan cara anda yang memulai minta maaf jika telah melakukan kesalahan. Jangan hukum anak di luar kuasa nya, jika sang anak telah mengaku salah dan minta maaf pada anda.

Ajarkan anak secara dini menyampaikan keinginan dan pendapatnya, jangan hakimi pendapatnya jika menurut anda tidak benar, tapi beri pengarahan dan pemahaman yang mudah ia mengerti. Sebab, hal kecil, seperti pendapat tidak dihargai, maka anak mulai berbohong.

Dan, semuanya bermula dari kita sendiri, selaku Ayah dan Ibu, sebagai figur dan pemimpin dalam keluarga.

Terakhir, penulis tidak bermaksud menggurui pembaca melalui tulisan ini, akan tetapi penulis mengikat sikap dan prilaku sendiri untuk berbuat lebih baik, yang mana juga memiliki sifat primitif, malu mengakui kesalahan dan malu meminta maaf. Dengan menuliskan ini, semoga akan terikat dalam pikiran dan berbuah baik pada sikap dan prilaku di kemudian hari. Sebagaimana dikatakan pepatah bijak, " Jika aku lihat, aku tau. Jika aku baca aku paham. Dan, jika aku tuliskan, maka aku akan ingat." (AntonWijaya)