Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dilema Perawat Fungsional Melanjutkan Pendidikan dan Karir

Medianers ~ Antara pendidikan dan karir berbanding sejajar. Jika seseorang memiliki pendidikan tinggi biasanya juga akan mendapatkan karir yang cemerlang. Hal tersebut tidak mutlak, masih ada orang sukses, punya karir cemerlang dibidangnya.

Namun tidak pernah bersekolah tinggi secara formal, contoh nyata mentri perikanan dan kelautan, susi pudjiastuti yang hanya tamatan SMP. Bahkan sebaliknya, di indonesia banyak pengangguran terdidik yang memiliki ijazah sarjana yang tak punya karir apa-apa sesuai dengan ijazah yang ia miliki.

Dalam artikel ini, berbanding sejajar yang saya maksud yakni pendidikan berkelanjutan bagi kalangan PNS dilingkungan pemerintah daerah maupun pusat dalam mencapai karir tertinggi. Selain prestasi, integritas dan pangkat berdasarkan golongan, tentunya syarat paling penting untuk mencapai posisi tertentu (jabatan) adalah melalui pendidikan.

Misal, untuk posisi Kepala Bidang (Kabid) dan Kepala Bagian (Kabag) jika yang dipimpinnya tamatan S1, idealnya seorang Kabid atau Kabag memiliki ijazah S2 dibidangnya atau setidak-tidaknya memiliki ijazah yang sama dengan anak buahnya. Saya pikir begitu seterusnya, untuk setara direktur, Kepala kantor, Kepala dinas, tentunya harus memiliki pendidikan lebih tinggi dibanding, kabid dan kabag yang ia pimpin, minimal pendidikannya sama. Kalaupun pendidikan sama, nanti yang membedakan, pangkat dan golongan, pengalaman, 'sesuatu' dan lain hal terkait profesionalitas.

Dalam konteks normal, jika didapati seorang pimpinan lebih rendah dibanding anak buahnya dalam segala hal menurut pandangan akademis dan sistem kepegawaian, namun ia ditunjuk oleh orang yang berwenang sebagai pimpinan tertinggi di sebuah institusi/bidang/bagian itu sah-sah saja, mungkin ada kelebihannya yang lain yang tidak kita ketahui, sebagaimana kelebihan yang dimiliki mentri perikanan dan kelautan Indonesia.

Serangkaian pragraf diatas, hanya sebuah gambaran pentingnya pendidikan dalam karir kepegawaiaan. Dan, saya ulangi lagi, meskipun penting tapi tidak mutlak.

Bagaimana Dengan Karir Perawat Fungsional PNS ?


Sistim kepegawaian memisahkan 2 (dua) jenis pegawai, diantaranya pegawai struktural dan pegawai fungsional. Yang disebut pegawai fungsional adalah pegawai profesional, memiliki pendidikan profesi, seperti Dokter, Perawat, Bidan dan Guru. Pegawai Fungsional tidak memiliki jabatan karir sebagaimana pegawai struktural, jika ingin jadi pejabat maka harus melepaskan status fungsional berdasarkan aturan Badan Kepegawaian Negara.

Banyak pegawai fungsional memiliki pendidikan tinggi meskipun tidak punya jabatan bahkan mencapai taraf tertinggi seperti professor,  ia tersebar dan mengabdi di dunia pendidikan dan penelitian, dan ada juga yang bekerja di sebuah instansi yang langsung melayani masyarakat atau sebagai ujung tombak pelayanan.

Selain guru bertitel profesor, ada juga dokter. Dokter rata-rata memiliki pendidikan tinggi dan keahlian khusus, bahkan dokter bergelar professor cukup banyak terjun langsung sebagai ujung tombak pelayanan di rumah sakit pendidikan atau rumah sakit besar milik pemerintah.

Nah, bagaimana dengan Perawat?

Agar pemahaman lebih mengerucut, saya mengajak melihat pendidikan dan karir Perawat Fungsional yang telah PNS yang bekerja di Rumah Sakit Milik Daerah. Apakah mereka tertarik untuk melanjutkan pendidikan tinggi sebagaimana Guru dan Dokter yang antusias meniti karir.

Saya mengamati motivasi Perawat fungsional yang bekerja di rumah sakit untuk melanjutkan pendidikan untuk jenjang lebih tinggi, S2 misalnya. Sesumbar sangat termotivasi, tapi banyak faktor penghalang sehingga perawat menjadi pesimis untuk melanjutkan pendidikan mengambil spesialis keperawatan atau magister manajemen. Berbicara soal pendidikan, sama artinya investasi jangka panjang, jika berinvestasi tentunya mencari keuntungan, baik secara materi maupun kepuasan pribadi.

Menurut saya, alasan Perawat Fungsional yang bekerja di Rumah Sakit pesimis melanjutkan pendidikan tinggi, yaitu jenjang karir tidak jelas, dan penghargaan belum nyata.

Jenjang Karir Perawat Fungsional di Rumah Sakit

Saat ini, hampir  90 persen perawat pelaksana dilapangan berijazah diploma 3 keperawatan atau tamatan Akademi Keperawatan. Dan, sekitar  9 persen perawat berijazah S1 Keperawatan+ Ners, sedangkan S2 Manajemen Keperawatan dan spesialis keperawatan sekitar 1 persen, bahkan dibeberapa rumah sakit daerah 0 persen, artinya belum ada S2 atau spesialis keperawatan. (data berdasarkan pengamatan, bukan uji statistik).

Berdasarkan jenjang karir, tamatan S1 + Ners biasanya berada pada posisi Kepala Ruangan, Kepala Staf Fungsional Perawat, Kepala Instalasi Perawatan dan Kepala Bidang Keperawatan.

Sedangkan Perawat tamatan S2 Manajemen Rumah Sakit, hampir sama, paling posisi tertinggi Kepala Bidang keperawatan. Untuk menjadi direktur utama sebuah rumah sakit, Perawat dikebiri oleh undang-undang rumah sakit, bahwa Undang-undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit pada Pasal 34 ayat 1 menyatakan, bahwa, "kepala Rumah Sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan."

Sebagaimana kita ketahui, tenaga medis adalah tenaga dokter dan dokter gigi, maknanya tidak meliputi seluruh tenaga kesehatan. Sedangkan Perawat adalah tenaga kesehatan,bukan tenaga medis, akhirnya tertutup peluang untuk jadi direktur utama.

Spesialis keperawatan bagaimana ? tentunya bukan berada di manajemen tetapi berada di pelayanan langsung, bagaimana penghargaan untuk Spesialis keperawatan ini di Rumah Sakit, yuk simak selanjutnya.

Penghargaan Untuk Perawat Fungsional di Rumah Sakit.

Terkesan semakin tinggi pendidikan Perawat, maka semakin jauh dari pasien. Perawat Spesialis cendrung mendapat tempat di lahan pendidikan untuk mengajar, jadi dosen perguruan tinggi dibanding mengabdi di rumah sakit.

Perawat spesialis seakan-akan belum berperan penting dalam kesembuhan pasien. Selain belum diakui perannya, juga tidak mendapatkan insentif sebagaimana dokter spesialis mendapatkan tunjangan kelangkaan. Karena belum dapat pengakuan dan tidak dapat penghargaan salah satu indikasi Perawat Fungsional pesimis untuk melanjutkan pendidikan.

Merupakan dilema bagi Perawat Fungsional ingin melanjutkan pendidikan tinggi, misal mengambil manajemen kesehatan, setelah tamat nanti mau jadi apa? Yang pasti keluar dari fungsional dan juga belum mendapatkan tempat untuk menjadi pimpinan Rumah Sakit.

Mengambil spesialis keperawatan misalnya, ujung-ujungnya jadi dosen, semakin jauh dari pasien. Teman saya bilang " saya tidak bisa lagi membius, kalau sudah jadi spesialis atau jadi Master Manajemen Rumah Sakit," dan ia menambahkan, "lebih baik saya cukup sarjana keperawatan tambah Ners tapi masih bisa membius," ungkapnya.

Berharap, berjalannya waktu pengakuan dan penghargaan itu berada pada posisi Perawat, bahwa Rumah Sakit berhak di pimpin oleh Perawat Manajer. Dan, Perawat spesialis juga bisa dihargai sebagaimana profesi lain mendapatkan tunjangan kelangkaan serta mendapatkan tempat di lahan praktek di rumah sakit.

Meskipun dilema, inilah tantangan bagi Perawat yang akan melanjutkan pendidikan, dan yang sedang menjalankan pendidikan serta yang telah lulus dari pendidikan tinggi untuk merubahnya, seperti kita ketahui bahwa pendidikan itu adalah sebagai agen perubahan.
(Anton Wijaya)