Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

2 Minggu di RSJ Dr Marzoeki Mahdi Bogor

Medianers ~ Tidak ada kegiatan penting sore ini, saya hanya membuka profil dan mengklik koleksi foto kawan di Facebook. Ketika melihat sebuah gambar lusuh, ada 5 orang lelaki berbaris seperti Boyband, pakai almamater warna coklat, ekspresi wajah tegang, kelihatan culun. Setelah melihat foto tersebut, pikiran saya berada pada 8 tahun nan lampau.

Awal tahun 2004, saya dan 49 orang Angkatan III Akper Pemda Padang Pariaman wajib menjalani praktek keperawatan jiwa di Rumah Sakit tertua di Indonesia yang terletak di Bogor.

Untuk keberangkatan, kami diberi 2 pilihan oleh pihak kampus. Pilihan pertama berangkat dengan Kapa Tabang (Pesawat) dan pilihan kedua berangkat dengan Bus carteran. Jika dengan Bus, kami juga bisa sekalian study tour ke Jakarta, Bandung dan Yogyakarta, kata Dosen pembimbing.

Setelah memperhitungkan biaya, serta memprediksi kelebihan dan kekuranganya, kami sepakat berangkat dengan Bus. Celetuk kawan-kawan saat itu, kapan lagi kita keliling pulau jawa dengan melewati lintas Sumatra? Jika naik pesawat, kita tidak bisa melihat beberapa kota besar di Indonesia.

Sekitar 3 hari perjalanan, kami sampai di RSJ Dr Marzoeki Mahdi Bogor. Sungguh perjalanan yang melelahkan. Namun, rasa lelah terobati, karena sambutan baik oleh pihak Rumah Sakit. Kami langsung digiring ke Asrama.

Berdasarkan kerjasama, dosen dan mahasiwa di inapkan di Asrama selama 2 minggu, agar belajar ilmu keperawatan jiwa dapat maksimal. Siang untuk praktek, dibimbing oleh Perawat senior di bangsal dan malam mengerjakan tugas berupa teori dan dibimbing oleh dosen dari kampus.

Senin pagi. Setelah melepaskan penat dikamar peristirahatan Asrama yang mirip bangsal perawatan, saya dan 49 orang teman bergegas mandi dan sarapan. Karena, sebelumnya telah diingatkan bahwa kegiatan dimulai jam 07.00 wib di Aula untuk pembekalan.

Pertemuan hanya setengah jam, pembekalan selesai, kami kembali lagi ke Asrama dan jam 08.00 wib harus berada diruangan. Berdasarkan kelompok yang telah dibagi di Aula. Saya dapat di ruang perawatan Sadewa. Nama ruang (bangsal) rawatan disana terbilang unik, seperti nama-nama dewa.

Sebelum berangkat keruangan, ada ekspresi cemas dari teman-teman, termasuk saya. Cemas menghadapi pasien, karena tidak biasa menghadapi "orang gila."

Wajah kami yang tidak seperti biasanya itu, terbaca oleh dosen pembimbing. Dan, buk Syahziar Roswita memberikan kami motivasi, "Anda jangan pernah berpikir bahwa mereka yang dirawat disini orang gila. Mereka adalah gangguan jiwa. Sekali lagi, jiwanya yang terganggu. Jiwa yang terganggu dihadapi dengan jiwa yang tenang. Ibuk yakin, anda semua bisa menghadapi pasien yang butuh bantuan kejiwaan tersebut," katanya.

Pernyataan buk Syahziar, juga diamini oleh buk Lili, "istilah orang gila tidak ada di Keperawatan. Yakinlah Anda, akan menyenangkan praktek disini," tambah buk Lili.

Penuh percaya diri, kamipun berangkat keruangan masing-masing. Setelah berputar-putar di areal Rumah Sakit peninggalan zaman Hindia Belanda itu, akhirnya saya menemukan juga ruangan Sadewa. Kepala ruangan sekaligus sebagai pembimbing telah menunggu, saya dan 5 orang lainya, merupakan 1 kelompok yang ditempatkan diruangan tersebut.

Selain perkenalan, kami juga di beri pengarahan. Beberapa hal yang paling saya ingat, ketika pembimbing bicara, "Anda kesini bukan untuk menertawakan prilaku pasien. Karena, mereka disini bukan untuk ditertawakan. Jika ada hal yang diluar kewajaran, anda dapat mengarahkan mereka sesuai konsep keperawatan jiwa." Kemudian beliau menambahkan, "jangan pernah memberikan janji yang tidak bisa ditepati pada pasien."

Saya hanya mendengar dan melihat, tidak ada pertanyaan,tapi mengamati. Berada diruangan tersebut tidak seperti berada di Rumah Sakit. Tetapi seperti rasa dirumah yang menyerupai bangunan Eropa kuno, konon kabarnya bangunan tersebut berdiri sejak 1 juli 1882.

Dalam ruangan, ada meja makan, kursinya tertata rapi. Ditengah ruangan ada kursi sofa, didepan kursi sofa ada televisi. Sisi kiri dan kanan, terdapat beberapa kamar yang bersekat, tiap kamar ada tempat tidur, lemari dan fasilitas lainya. Arah pintu masuk, terdapat meja dan beberapa kursi, diatas meja ada beberapa file dan buku, sepertinya meja yang diatas ada buku tersebut adalah tempat menulis bagi Perawat dan Dokter.

Di kursi sofa saya melihat ada 2 orang yang lagi duduk sambil menonton, keduanya perempuan, yang satu masih muda dan satunya lagi kelihatan tua. Di depan televisi, ada seorang pemuda yang mondar-mandir.

Diluar ruangan, seorang petugas berseragam putih sedang ngobrol dengan pasien, mereka kelihatan akrab, saya tidak tau apa yang mereka bicarakan. Singkat kata, berada disitu tidak seperti berada di Rumah Sakit Jiwa.

Hari pertama mengesankan. Saya berusaha beradaptasi dan sesekali senyum pada orang-orang yang ada dalam ruangan. Dihari kedua. Saya dapat tugas dari pembimbing untuk menegakan diagnosa keperawatan pada Tn.N selanjutnya rencana keperawatan apa yang harus saya lakukan untuk mengatasi diagnosa tersebut.

Pembimbing menegaskan, saya dan kawan-kawan dilarang melihat data pasien yang ada di file, tapi harus menggali langsung ke pasien yang telah ditentukan tersebut. Seluruh tindak tanduk kami selama berinteraksi dengan pasien akan diawasi. Apabila ada yang tidak bisa dipahami, silahkan tanya langsung pada beliau, ungkap pembimbing.

Saya sedikit gugup dengan tugas yang diberikan, sekilas tentang latar belakang Tn.N diberi tau oleh pembimbing, bahwa Tn.N jarang keluar kamar, orangnya termasuk sulit berinteraksi dengan lingkungan. Jika saya mampu menggali data subjektif dari dia, itu sudah kemajuan besar. Lalu, saya diminta menjalankan proses keperawatan sesuai dengan konsep. Jika ada hal yang tidak penting, diluar Asuhan Keperawatan, tidak usah dilakukan.

Saya datangi kamar Tn.N, lalu mengucapkan salam dan memperkenalkan diri, serta berusaha membangun trust (hubungan salaing percaya). Tn.N hanya menunduk dengan pandangan kosong, tidak memberikan respon apa-apa. Karena, dia belum bisa mempercayai orang baru.

Wajahnya tidak ada memperlihatkan tanda-tanda perlawanan, tapi saya sangat sulit mendapatkan jawaban. Kurang lebih setengah jam berinteraksi denganya, tidak satupun respon yang didapatkan. Seperti, saya ajak keluar kamar, untuk menghirup udara segar di beranda depan, beliau hanya diam, tidak mengangguk dan tidak menggeleng. Saya sebutkan nama sambil ingin berjabat tangan, beliau tidak membalas. Intinya, dia tidak ingin ada orang lain di kamar tersebut.

Beberapa saat kemudian, pembimbing memanggil dan menanyakan, apa yang telah anda dapatkan selama berinteraksi? saya jawab, Tn.N menarik diri, jika dibiarkan ia akan mengalami halusinasi, jika halusinasinya berkembang, kemungkinan akan berprilaku kekerasan atau mencederai diri sendiri. Saat ini, diagnosanya adalah Menarik Diri. Pembimbing hanya mengangguk, dan melanjutkan pertanyaan, apa rencana anda selanjutnya? saya jawab, membina hubungan saling percaya, saya harus rutin mengucapkan salam pada Tn.N dan berinteraksi untuk merangsang  terbinanya hubungan saling percaya.

Kemudian, pembimbing memberitahukan bahwa Tn.N baru masuk Rumah Sakit kemaren, belum banyak dapat sentuhan petugas, hal tersebut kesempatan besar bagi anda mempraktekan ilmu Keperawatan Jiwa, pungkasnya. Dan beliau menyuruh, besok pagi (hari ketiga) saya harus membuat laporan tentang strategi pelaksanaan tindakan yang akan dilakukan, tugas tersebut ditulis di kertas double polio. ( Bersambung disini).