Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Membangun SIMRS Secara Mandiri di RSUD dr Adnaan WD

Medianers ~ Di indonesia penggunaan digital dirumah sakit mulai dikembangkan sejak 15 tahun terakhir. Dikenal dengan nama Sistim Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS).

Pada umumnya, pengembangan SIMRS menggunakan jasa pihak ketiga, atau melalui vendor, sehingga membutuhkan biaya perawatan yang luar biasa.

Selain biaya besar, SIMRS cendrung bermasalah karena "human error" atau tidak adanya niat dari user yang benar-benar mumpuni menangani setiap persoalan yang ditemui.

Akhirnya, billing system mandek, user merasakan ribet, cendrung beranggapan menambah pekerjaan saja jika bekerja berbasis digital. Alhasil, digitalisasi rumah sakit menemui jalan buntu.

Pengalaman demikian pernah dialami oleh RSUD dr Adnaan WD Payakumbuh. Di tahun 2005 hingga awal 2007, manajemen pernah menerapkan billing system berbasis digital yang terkait antar unit.

Namun, kondisi demikian tidak berlangsung lama. Sosok penggagas billing system yang terkait antar unit, yaitu dr.Yanuar Hamid, Sp.PD, MARS pergi meninggalkan Kota Payakumbuh, dan promosi jabatan ke RSUP dr M Djamil Padang.

Dokter Yanuar Hamid pergi, program digitalisasi yang ia gagas seakan mati suri. Apa yang telah dibangun bersama jajarannya terlihat sulit berkembang, cendrung jalan ditempat.

Saat ini, diruang perawatan tidak lagi menggunakan komputer, kembali memakai kertas. Kecuali antara apotek dan Unit Pelayanan Administrasi Terpadu ( UPAT) masih terintegrasi dengan komputer.

Peluang dan Tantangan Penerapan SIMRS di Era BPJS

Dimasa transisi layanan kesehatan dewasa ini, sesuai program pemerintah bahwa masyarakat diharapkan menggunakan kartu asuransi kesehatan dari BPJS.

Sementara rumah sakit juga diharapkan memberikan layanan terbaik pada pengguna BPJS dengan tarif sesuai paket INA-CBG's (Indonesia Case Base Groups).

Pasca lahirnya program asuransi kesehatan rakyat ini, rumah sakit hadapi berbagai persoalan. Bahkan ada rumah sakit merugi, karena biaya operasional yang mahal, sementara tarif pengobatan ditentukan oleh pihak BPJS.

Atas dasar itu pulalah, direktur utama dr.Efriza Naldi,Sp.OG mengirim dr.Yanti selaku direktur pelayanan dan penunjang serta 4 staf lainnya untuk belajar memahami cara membangun Sistim Informasi Manajemen Rumah Sakit berbasis digital secara mandiri, tanpa menggunakan vendor atau pihak ketiga, ke rumah sakit Pelni, Jakarta.

Sebab, dengan adanya teknologi dalam pengelolaan rumah sakit akan bisa memudahkan dan efisiensi SDM , temasuk mengurangi kebocoran dan transparansi laporan keuangan, serta akurasi data, persedian obat-obatan, dan mempercepat layanan pada masyarakat.

Penggunaan teknologi diharapkan bisa merinci secara detail data jasa pelayanan, sebagaimana yang telah diterapkan RSUD Parikesit Tenggarong, melalui aplikasi bernama e-jasmed.

Terkait penggunaan teknologi ini pernah dikatakan Albert Einstein," komputer itu cepat, akurat, dan bodoh. Sementara manusia itu lambat, tidak akurat tapi pintar. Jika keduanya dikombinasikan akan menjadikan kekuatan yang hebat."

Untuk itu, membangun SIMRS secara mandiri bukanlah perkara gampang, semudah membalikkan meja kerja, tapi butuh kesabaran dan kepercayaan kepada SDM internal yang sudah ada.

Hal itu pernah diungkapkan dr.Fathema Djan Rachmat saat pembukaan acara Festival Kaizen 2017 di Jakarta , bahwa pertama kali ia diminta memimpin Rumah Sakit Pelni, rumah sakit tersebut nyaris kolaps, karena besar pasak dari pada tiang, sebagai imbas dari kebijakan pemerintah melalui program BPJS.

Lantas ia berdiam diri? Ternyata tidak. Ia meniru gaya pemimpin jepang paska di bom, yakni hiroshima dan nagasaki, yang pertama kali ditanya adalah " berapa orang guru yang masih tersisa?" Artinya, Jepang membangun pendidikan.

Mungkin hal itu sebagai inspirasi bagi dr.Fathema, yang baru saja memboyong dua penghargaan sekaligus untuk kategori TOP IT Implementation on BUMN Hospital 2017, dan kategori TOP IT Leadership 2017.

Pertama kali yang dia lakukan adalah, " berapa orang programmer dan ahli IT bekerja di rumah sakit ini?" tanyanya pada bawahan.

Lalu ia memanggil semua anak IT yang bekerja di RS.Pelni dan menanyai di bagian apa mereka bekerja? Ada yang menjawab bekerja sebagai tukang ketik, dan sebagai tukang memperbaiki printer rusak.

Masa itu, sekitar tahun 2014, SDM IT, tidak melakukan sesuai proporsi dan latar belakang pendidikannya.

Melalui kewenangan direktur utama yang juga ahli bedah kardio vaskular itu, meminta sekitar 5 orang anak IT yang bekerja di Rumah Sakit Pelni memikirkan bagaimana cara membuat program dan software yang bisa memudahkan petugas bekerja, yang tujuan utamanya untuk efisiensi dan layanan super cepat pada masyarakat.

Mendapat kepercayaan demikian, SDM IT rumah sakit Pelni mulai membangun program sederhana. Mula memudahkan dan mengurangi lama waktu tunggu di poliklinik melalui aplikasi digital, yang tentunya melibatkan dukungan semua unit terkait, baik perawat maupun dokter.

Alhasil, setelah teknologi diterapkan, pasien poliklinik hanya membutuhkan waktu tunggu untuk berobat, paling lama 15 menit saja.

Selanjutnya membangun e-askep untuk memudahkan kerja Perawat diruangan dan program e-prucurement untuk memudahkan kerja apoteker dan petugas apotek, bahkan SDM gudang obat yang biasanya 6 orang sejak lahirnya aplikasi e-prucurement tenaga mereka tidak dipakai lagi, dipindahkan ke unit lain.

Seakan, semua yang dituliskan diatas seolah-olah terasa mudah dan gampang. Mungkin beranggapan demikian. Benar saja, bahwa membangun SIMRS Secara mandiri itu tidak gampang.

Sebagaimana yang dikatakan dr.Fathema dari kalangan internal, banyak mendapat penolakan, baik dari unit pelayanan seperti dokter dan Perawat. Karena apa yang telah dikembangkan itu seakan mempersulit kerja mereka. Paling malas menginput data.

Namun, dr.Fathema yakinkan pada seluruh jajaran direksi dan staf rumah bahwa kehadiran teknologi sangat penting untuk kemajuan rumah sakit. Demikian jelasnya saat memberikan materi di Kaizen Festival 2017.

Hal utama yang dibangun adalah kesadaran kepada seluruh petugas, bahwa dunia telah berubah, tanpa teknologi rumah sakit bisa tertinggal. Lihat saja ojek saja sudah online. Harusnya layanan rumah sakit lebih dari itu.

Selain membangun kesadaran, juga mengedukasi petugas melalui divisi budaya. Bagi petugas yang tidak bisa berubah, maka ada 2 pilihan, pertama mendapat punishment, pemotongan bonus atau jasa pelayanan, kemudian diumumkan dalam sebuah forum bahwa petugas berinisial "x" tidak mau menginput data . Semacam hukuman sosial.

Dan, hukuman terakhir, petugas bersangkutan akan direhabilitasi di klinik Budaya.

Dalam manajemen yang diterapkan dr.Fathema yang terlihat pintar dan visioner itu. Bahwa ia lebih cendrung memberikan reward agar SDM Rumah Sakit Pelni berbuat loyal, dari pada memberikan punishment.

Ia katakan, dokter mata yang praktek 7 hari dalam seminggu di rumah sakit Pelni bisa mendapatkan jasa pelayanan luar biasa. Yang dua tahun sebelumnya rumah sakit Pelni hampir di diagnosa kolaps ternyata bangkit dan bisa maju dan mensejahterakan karyawan.

Bahkan, katanya jam 6 pagi, poliklinik mereka sudah mulai beroperasional, termasuk hari Sabtu dan Minggu. Semuanya dibangun dengan kesadaran.

Melirik apa yang telah dipraktekkan dr.Fathema di RS. Pelni, menginspirasi dr.Efriza Naldi,Sp.OG selaku direktur utama, untuk membangun RSUD dr Adnaan WD menjadi "Smart Hospital " kedepannya, sebagaimana yang telah digagas rumah sakit Pelni, Jakarta.

Sebagaimana kata Albert Einstein bahwa, "orang yang tak pernah melakukan kesalahan adalah orang yang tak pernah mencoba sesuatu yang baru." Semoga apa yang dicita-citakan direktur utama RSUD dr Adnaan WD, Payakumbuh, Sumbar mendapatkan dukungan dan kemudahan dalam penerapan SIMRS senantiasa.(Anton Wijaya)